10 FAEDAH TENTANG JENAZAH

Sabtu, 26 September 2009
Oleh Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

PENGUMUMAN KEMATIAN

Al-Hafizh Ibnul Mulaqqin berkata: Mengumumkan kematian seorang terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Pengumuman dengan tujuan agama, seperti untuk memperbanyak jama'ah guna mendapatkan doa mereka, memperoleh kesempurnaan bilangan yang dijanjikan untuk diterima doa mereka yaitu empat puluh dan seratus orang, atau bertujuan agar orang-orang mengantarkan jenazahnya dan menunaikan haknya.
Makna ini telah disinyalir dalam sabda Nabi: "Kenapa kalian tidak memberitahuku tentang kematiannya?", dan beliau juga mengkhabarkan kematian para komandan perang Mu'tah, yaitu Ja'far, Ziad bin Haritsah dan Abdullah bin Rowahah.
Kedua: Pengumuman ala Jahiliyyah yang berisi menyebutkan kebaikan-kebaikan si mayit dan menampakkan kesedihan dan memperbesar keadaan kematiannya.
Hal ini diambil dari larangan Nabi tentang mengumumkan kematian sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dan beliau menshahihkannya.
Jenis pertama hukumnya sunnah dan kedua adalah haram. Perincian ini merupakan konsekwensi hadits-hadits shahih tentang masalah ini. (Al-I'lam bi Fawaid Umdatil Ahkam 4/387-388)

MELEPAS IKATAN KAFAN

Para ulama madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah[1] bersepakat mengatakan bahwa disunnahkan melepas ikatan di bagian kepala dan kaki ketika mayit diletakkan di kuburnya. Hal yang mendasari mereka untuk mengatakan sunnah adalah sebagai berikut:
Pertama: Diriwayatkan bahwa Nabi tatkala memasukkan Nu'aim bin Mas'ud ke kubur, beliau melepas ikatannya dengan mulutnya[2].
Kedua: Perbuatan para sahabat dan tabi'in, seperti diriwayatkan dari Samuroh bin Jundub, Abu Hurairah, Sya'bi, Ibrahim an-Nakhai, Dhohak, Hasan Bashri, Ibnu Sirin dan sebagainya[3] Ketiga: Tujuan mengikat kafan adalah karena khawatir terbuka, sedangkan kekhawatiran itu tidak perlu lagi ketika mayit telah dikuburkan.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Demikianlah yang afdhol (melepas ikatan kafan) berdasarkan perbuatan para sahabat". (Majmu Fatawa 13/195) Bahkan, sebagian ulama mengatakan: "Seandainya ikatan kafan lupa dilepas, maka boleh untuk menggali lagi kuburannya guna melepas kafan tersebut". (Kasyaful Qona' 2/107)
Adapun membuka sebagian wajah mayit, maka hal itu tidak disunnahkan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Apalagi membuka seluruh wajah mayit, maka hal itu tidak ada asalnya dalam agama. (Syarh Mumti' 5/363)

"AL-MARHUM", BOLEHKAH?!

Sering kita mendengar dan membaca ucapan mereka: "Si fulan Al-Marhum" (yang dirahmati). Apakah kata seperti terlarang ataukah boleh?! Jawabnya diperinci sebagai berikut:
Pertama: Apabila maksud pelontarnya dengan kata tersebut adalah sebagai bentuk khabar, maka hukumnya tidak boleh, sebab dia tidak tahu apakah si mayit tersebut betul-betul mendapatkan rahmat ataukah tidak, sedangkan tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan persaksian tentang sesuatu yang tidak dia ketahui.
Kedua: Apabila maksudnya adalah sebagai doa dan harapan semoga Allah merahmatinya, maka hukumnya boleh, karena kata ini bisa bermakna doa.
Jadi, hukumnya kembali kepada niat sang pelontar, hanya saja biasanya maksud pelontar dengan kata ini adalah doa dan harapan, sehingga hukumnya adalah boleh.
Perincian ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Majmu' Fatawa 17/451-452 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sebagaimana dinukil oleh murid beliau, Masyhur Hasan Salman dalam Ta'liq kitab Dzul Qornain wa Sadduu Shin, karya Muhammad Raghib ath-Thobbakh hal. 128


CERAMAH DI KUBURAN

Menyampaikan ceramah dan nasehat di kuburan diperinci sebagai berikut:
Pertama: Menyampaikan ceramah ketika ziarah kubur. Hukumnya adalah bid'ah tercela, tidak ada tuntunannya, sebab tidak pernah Nabi mengumpulkan manusia di kuburan untuk berceramah di sana, bahkan beliau hanya mengucapkan salam, doa kemudian pulang. Ibnul Haj berkata: "Termasuk bid'ah adalah perbuatan sebagian penceramah di kuburan pada malam bulan purnama". (Al-Madkhol 1/268)
Kedua: Menyampaikan ceramah nasehat saat menguburkan mayit. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib (HR. Bukhari 1362 Muslim 2647). Imam Bukhari membuat bab hadits ini "Bab ceramah di kubur dan duduknya para sahabatnya di sekitarnya". Al-Aini berkata: "Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya duduk di kuburan dan menyampaikan ilmu dan nasehat di sana". (Umdatul Qori 8/198)
Jadi, boleh menyampaikan nasehat dan ceramah di kuburan, tetapi hal itu kadang-kadang saja, tidak dilakukan terus-menerus, sebab petunjuk Nabi dan para salaf yang sering adalah mereka diam dan berfikir tentang kematian. Kalau memang di sana ada ceramah, maka perlu diperhatikan dua hal:
1. Janganlah ceramahnya tersebut menyibukkan manusia dari menunaikan hak si mayit dan mendoa'akannya karena hal itu lebih dibutuhkan mayit
2. Janganlah menyebutkan hal-hal yang dapat menambah kesedihan atau meratapi mayit. (Ahkamul Maqobir fi Syari'ah Islamiyyah, Dr. Abdullah bin Umar as-Sahyibani hal. 399-400)

BID'AH-BID'AH
SEPUTAR JENAZAH

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam penutup kitabnya yang bermanfaat[4] "Ahkamul Janaiz" hal. 305-336 mencantumkan bab khusus mengenai bid'ah-bid'ah seputar jenazah. Diantara bid'ah dan penyimpangan yang beliau sebutkan adalah sebagai berikut:
1. Meletakkan mushaf di bagian kepala orang yang akan meninggak dunia
2. Membawa bunga dan foto mayit di depan jenazah
3. Usai menshalati jenazah, sebagian orang mengatakan: "Apa yang kalian saksikan tentang mayit ini?" Lalu para hadirin menjawab: "Dia termasuk orang shalih" dan sejenisnya
4. Adzan ketika memasukkan mayit di kuburnya
5. Mengukir nama mayit dan tanggal kematiannya.


KETIKA MENGANTAR JENAZAH

Al-Hafizh an-Nawawi berkata: "Dianjurkan bagi seorang saat berjalan mengantar jenazah untuk menyibukkan diri dengan dzikrullah dan memikirkan kesudahan orang yang mati dan mengingat bahwa demikianlah akhir kehidupan dunia dan tempat kembali ahli dunia.
Jangan sekali-kali dia membicarakan sesuatu yang tidak ada faedahnya, karena waktu ini adalah waktu untuk berfikir dan berdzikir. Sangat jelek sekali senda gurau, ngobrol yang sia-sia dan sebagainya. Kalau hal itu tercela dalam setiap keadaan, lantas bagaimana dalam keadaan seperti ini?!
Ketahuilah bahwa pendapat benar dari petunjuk para salaf adalah diam ketika mengantar jenazah, tidak mengeraskan suara, baik dengan membaca Al-Qur'an, dzikir maupun lainnya. Hikmahnya sangat jelas sekali, karena hal itu sangat menenangkan hati dan memusatkan pikiran untuk memiikirkan masalah jenazah yang sangat dituntut dalam keadaan ini.
Demikianlah pendapat yang benar, janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihinya. Abu Ali Fudhail bin Iyadh pernah berpesan: "Tapakilah jalan petunjuk dan janganlah engaku sedih dengan sedikitnya orang yang meniti di atasnya! Waspadalah dari jalan-jalan kesesatan dan jangan tertipu dengan banyaknya orang yang terjerumus di dalamnya!"
Adapun perbuatan orang-orang jahil berupa membacakan untuk jenazah di Damaskus maupun selainnya dengan lagu-lagu yang keluar dari kaidah tajwid, maka semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama'. (Al-Adzkar 1/423-424, tahqiq Salim al-Hilali)

GIGI EMAS

Soal: Kalau ada orang meninggal dunia dan salah satu giginya ada yang dari emas, apakah gigi emasnya dibiarkan saja ataukah dicabut? Bagaimana kalau seandainya dicabut malah membahayakan gigi-gigi lainnya?!
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:
Pertama: Hendaknya kita ketahui terlebih dahulu bahwa menggunakan gigi emas hukumnya tidak boleh kecuali kalau memang dibutuhkan, maka tidak boleh menggunakan gigi emas untuk perhiasan, kecuali bagi wanita kalau hal itu dianggap sebagai perhiasan dalam adat setempat, adapun bagi kaum pria maka tidak boleh selama-lamanya kecuali jika ada kebutuhan.
Kedua: Apabila ada seorang meninggal sedangkan dia memiliki gigi emas, maka diperinci:
1. Kalau memang bisa dicabut tanpa merusak maka hendaknya dicabut, karena hak miliknya telah berpindah pada ahli waris
2. Adapun kalau tidak mungkin untuk dicabut kecuali dengan merusak dan merontokkan gigi-gigi lainnya, maka hendaknya dibiarkan terlebih dahulu dan dikubur. Kemudian ditunggu sampai kira-kira mayit tersebut sudah hancur, setelah itu tergantung ahli waris; kalau mereka mau merelakan maka dibiarkan, tetapi kalau mereka mau mengambilnya maka boleh baginya untuk menggali kuburnya dan mengambil gigi emas tersebut agar tidak menyia-nyiakan harta. (Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 17/88)

ZIARAH KUBUR

Ziarah kubur terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Ziarah Syar'i, yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk mendo'akan mayit. Dan faedah ziarah ini ada dua macam:
Bagi orang yang berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akherat sekaligus menuai pahala. Hal ini mencakup ziarah ke kuburan muslim maupun kafir
Bagi mayit yang diziarahi adalah mendapatkan doa dari saudaranya muslim. Hal ini khusus untuk ziarah kuburan muslim saja
Kedua: Ziarah bid'ah, yaitu ziarah dengan tujuan untuk meminta kebutuhan kepada si mayit, meminta doa dan syafa'at kepadanya, atau bermaksud doa di sana dengan keyakinan bahwa hal itu akan menjadikan doanya lekas terkabul.
Ziarah dengan tujuan seperti ini adalah bid'ah, tidak pernah disyari'atkan oleh Nabi dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, baik di kuburan Nabi atau kuburan lainnya. Semua ini adalah termasuk bentuk kesyirikan atau perantara menuju kesyirikan. (Qo'idah Jalilah fi Tawassul wal Wasilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 32-34)

WAFAT DI TANAH SUCI

Ketahuilah bahwa semua hadits berkaitan tentang keutamaan wafat di tanah haram semuanya tidak shohih dari Nabi, seperti hadits:
مَنْ مَاتَ فِيْ أَحَدِ الْحَرَمَيْنِ بَعَثَهُ اللهُ مِنَ الآمِنِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang meninggal dunia di salah satu haram (Mekkah dan Madinah), niscaya Allah akan membangkitkannya termasuk orang-orang yang aman pada hari kiamat.
Hadits ini lemah ditinjau dari segi sanad dan matan-nya:
1. Sanadnya, Diriwayatkan ath-Thoyyalisi dalam Musnadnya 65 dari Siwar bin Maimun dari seorang lelaki dari keluarga Umar dari Umar dari Nabi.
Sanad ini lemah, sebab ada seorang rawi yang tidak disebut namanya. Demikian juga Siwar bin Maimun seorang yang tidak dikenal. Hadits ini dilemahkan oleh al-Hafidh Ibnu Abdil Hadi dalam ash-Sharimul Munki hal. 87. [5]
2. Matan-nya, "Dan hadits seperti ini tidak shahih selama-lamanya, karena bertentangan dengan Al-Qur'an, sunnah dan ijma umat bahwa sekedar meninggal di tanah haram tidaklah dapat menyelamatkan seseorang dari siksa dan menjamin keamanan darinya.
Tentang masalah ini, saya teringat bahwa saya pernah menghadiri suatu pengajian di kampung saya, dalam pengajian tersebut sang dai menceritakan suatu pengalaman lucu ketika hajinya, dia berkata bahwa suatu ketika dia di Madinah ketemu seseorang nenek tua yang ketinggalan keloter, tanyanya: "Ibu, kok belum pulang?!" Jawab si nenek: "Sengaja pak, saya ingin meninggal di sini". Maka dengan senda gurau, si dai itu berkata: "Bu, kalau meninggal di sini, malaikatnya nanti tanyanya dengan bahasa Arab!". Akhirnya, si nenek itu karena merasa tidak bisa bahasa Arab mengatakan: "Kalau gitu, saya ingin pulang aja". Wallahul Musta'an.[6]

KEMATIAN

كُلُّ امْرِئٍ مُصَبَّحٌ فِيْ أَهْلِهِ وَالْمَوْتُ أَدْنَى مِنْ شِرَاكِ نَعْلِه
Semua orang menghadapi kematian di pagi hari
Dan kematian lebih dekat dari tali sandalnya.[7]
فَلَوْ أَنَّا إِذَا مِتْنَا تُرِكْنَا لَكَانَ الْمَوْتُ رَاحَةَ كُلِّ حَيِّ
وَ لَكِنْ إِذَا مِتْنَا بُعِثْنَا وَ نُسْأَلُ بَعْدَهُ عَنْ كُلِّ شَيِّ

Seandainya apabila kita telah mati, kita dibiarkan
Niscaya kematian melegakan orang yang hidup
Namun bila kita mati, kita akan dibangkitkan kembali
Dan ditanya tentang segala sesuatu setelah itu.[8]
كُلُّ ابْنِ أُنْثَى وَإِنْ طَالَتْ سَلاَمَتُهُ يَوْمًا عَلَى آلَةٍ حَدْبَاءَ مَحْمُوْلُ
Semua anak manusia, sekalipun berumur panjang
Suatu hari dia pasti akan dibawa di atas alat usungan mayat.[9]

اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ

Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat
Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.
Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.
Jiwanya yang sehat melayang cepat[10].
[1] Lihat ad-Durrul Mukhtar 2/236, Mawahibul Jalil 2/226, al-Umm 1/471, Al-Mughni 3/434
[2] HR. Abu Dawud dalam al-Marosil 419 dan al-Baihaqi dalam Sunan Kubro 3/407 secara mursal. Dan dalam al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 3/326: "Kami mengira dia mendengarnya dari Ma'qil".
[3] Lihat Sunan Kubro al-Baihaqi 3/371 dan Al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 3/326
[4] Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad pernah berkata dalam pelajaran Sunan Abu Dawud: "Saya tidak mendapati sebuah kitab tentang masalah jenazah yang lebih bagus dari kitab Ahkamul Janaiz karya Syaikh al-Albani". Dan kami sering mendengar para masayikh kami, murid-murid Syaikh Ibnu Utsaimin memuji kitab ini dan menganjurkan untuk membacanya. Semoga Allah memberkahi mereka semua.
[5] Irwaul Ghalil: 1127
[6] lihat Mengkritisi Hadits-Hadits Populer oleh penulis. (masih berupa manuskrip -semoga Allah memudahkan penerbitannya-)
[7] Ucapan Abu Bakar ash-Shiddiq. Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar 7/308 dan Akhbar Mekkah al-Azraqi 2/154
[8] Ucapan Ali bin Abi Thalib sebagaimana dalam al-Mausu'ah Syi'riyyah hal. 461, atau ucapan Amir Ibnu Dulf sebagaimana dalam al-Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir 10/294 dan al-Wafii fil Wafayat Ibnu Khallikan 1/3208
[9] Ucapan Ka'ab bin Zuhair sebagaimana dalam Bahjatul Majalis 3/324
[10] Ucapan Imam Bukhori sebagaimana dalam Hadyu Sari Ibnu Hajar hal. 481.

WASPADA TERHADAP KISAH-KISAH TAK NYATA

Oleh Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi


Membaca kisah, memang asyik dan menyenangkan... penuh dengan ibrah dan pelajaran, apalagi kisah para nabi dan orang-orang shalih, tentulah sarat dengan mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Tentang kisah para nabi, Alloh berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَاب
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111)
Adapun kisah orang-orang shalih, Imam Sufyan As Tsauri berkata: “Ketika membicarakan kisah mereka, turunlah rahmat ( Alloh )”.
Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:
كَرِّرْ عَلَيَّ حَدِيْثَهُمْ يَاحَادِيْ فَحَدِيْثُهُمْ يُجْلِىْ الْفُؤَادَ الصَّاوِيَ
Ceritakanlah kepadaku tentang kisah mereka wahai shahabatku...
Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku...

Pengetahuan tentang kisah memang asyik lagi menarik. Tetapi sayang, pengetahuan yang mulia ini ternodai oleh goresan tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memutarbalikkan fakta sejarah yang sebenarnya, lalu menebarkan kisah-kisah yang tidak shahih. Ironisnya, justru kisah-kisah itulah yang banyak beredar, laris manis, dan banyak dikomsumsi masyarakat.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, akan kami paparkan sebagian kisah-kisah yang tidak shahih sebagai peringatan untuk kita semua.

1. Kisah Tsa’labah bin Hatib z/
Ringkas ceritanya: “Tsa`labah z/ adalah seorang sahabat yang fakir tetapi rajin beribadah. Suatu saat ia memohon kepada Nabi n/ agar mendo’akannya supaya dikaruniai rizki. Nabi n/ pun mendo’akannya. Walhasil, dia bekerja sebagai penggembala kambing. Waktu demi waktu berlalu, akhirnya ternaknya berkembang dengan pesat sekali. Lambat laun hal itu melalaikannya dari shalat... dan seterusnya sampai akhir kisah.”
Kisah ini sangat masyhur, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsirnya (14/370), Ath-Thabrani dalam Mu‘jamul Kabir (8/260) no. 7873 dan Al-Wahidi dalam Asbabul Nuzul hal 252. Semuanya dari jalan Mu’an bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid Al-Alhani dari Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Bahili z/.”
Kisah ini MUNGKAR. Sebabnya adalah:
1. Mu’an bin Rifa’ah seorang rawi yang lemah. Ibnu Ma’in berkata, “Lemah.” Al-Juzajani berkata, “Tidak dapat dijadikan hujjah.” Ibnu Hibban berkata, “Munkarul hadits.” Adz-Dzahabi berkata, “Tidak kuat.” Ibnu Hajar berkata, “Haditsnya lemah dan dia sering memursalkan hadits.” (lihat Mizanul I’tidal (6/455) oleh Adz-Dzahabi; Tahdzib Tahdzib (5/455), Taqrib Tahdzib oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani)
2. Ali bin Yazid Al-Alhani seorang rawi yang lemah juga. Imam Bukhari berkata, “Munkar hadits.” Nasai berkata, “Tidak dipercaya.” Abu Zur’ah berkata, “Tidak kuat.” Daruquthni berkata, “Matruk (ditinggalkan).” Ibnu Hajar menyimpulkan, “Dha’if (lemah).” (Lihat Mizanul I’tidal (5/196) dan Taqrib Tahdzib hal. 953)
Komentar ulama tentang kisah ini:
a. Ibnu Hazm (wafat: 456H) berkata dalam Al-Muhalla (12/137), “Tidak ragu lagi bahwa kisah ini adalah batil. Tsa’labah z/ termasuk sahabat pengikut perang Badar yang masyhur.”
b. Al-Baihaqi (wafat: 458 H) berkata, “Sanad hadits ini perlu dikaji ulang lagi, sekalipun masyhur di kalangan ahli tafsir.” (Lihat Faidhul Qadir (4/ 667) oleh Al-Munawi)
c. Al-Qurthubi (wafat: 671 H) berkata dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (8/133), “Tsa‘labah z/ termasuk sahabat yang mengikuti perang Badar, termasuk golongan Anshar dan orang-orang yang mendapatkan pujian dari Alloh dan RasulNya n/. Adapun hadits ini tidak shahih.”
d. Adz-Dzahabi (wafat: 748 H) berkata dalam Tajrid Asma Shahabah (1/66), “Mungkar sekali.”
e. Al-Iraqi (wafat: 806 H) berkata dalam Takhrij Ihya’ (3/338), “Sanadnya lemah.”
f. Al-Haitsami (wafat: 807 H) berkata dalam Majma’uz Zawaid (7/108), “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani tetapi dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ali bin Yazid Al-Alhani, dia matruk (ditinggalkan haditsnya).”
g. Ibnu Hajar (wafat: 852 H) berkata dalam Fathul Bari (3/266), “Hadits ini lemah, tidak dapat dijadikan hujjah.”
h. As-Suyuthi (wafat: 911 H) berkata dalam Lubab Nuqul ‘an Asbab Nuzul (121), “Diriwayatkan oleh Thabrani, Ibnu Mardawih, Ibnu Abi Hatim, dan Baihaqi dalam Dala’il dengan sanad yang lemah.”
i. Al-Albani berkata dalam Silsilah Dha’ifah (1607), “Hadits ini mungkar, sekalipun sangat masyhur. Kecacatannya terletak pada Ali bin Yazid Al-Alhani, dia seorang yang matruk. Dan Mu’an juga seorang yang lemah.”
Ada satu hal lagi yang memperkuat mungkarnya kisah ini, bahwasanya shahibul kisah, Tsa’labah bin Hatib, termasuk pengikut perang Badar sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Mandah, Abu Nu’aim, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Atsir dalam Usdul Ghabah 1/237.
Kalau sudah terbukti bahwa Tsa’labah termasuk pengikut perang Badar, apakah seperti ini sifat seorang sahabat yang mengikuti perang Badar? Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Ishabah 1/198, telah shahih bahwa Nabi n/ bersabda:
لاَيَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَّةَ
Tidak masuk neraka orang yang mengikuti perang Badar dan Hudaibiyah.
Dan beliau juga menceritakan bahwa Rabbnya berfirman:
اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Berbuatlah sekehendak kalian. Sungguh Aku telah mengampuni kalian.
Apakah seorang yang dijamin dengan pahala seperti ini lalu menjadi munafik? Dan turun kepadanya ayat tersebut?

2. Kisah Al-Qamah Bersama Ibunya
Ringkas ceritanya kurang lebih sebagai berikut: “Al-Qamah adalah seorang ahli ibadah. Tatkala dia dalam sakaratul maut, lidahnya tidak dapat mengucapkan kalimat La Ilaha illalloh. Rasul n/ pun mendatanginya seraya bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah ibunya masih hidup?” Jawab mereka, “Masih.” Sang ibu pun dihadirkan, lantas menjelaskan bahwa dirinya telah mengutuk si anak (Al-Qamah) disebabkan dia lebih mengutamakan istrinya daripada dirinya. Nabi n/ meminta kepada sang ibu untuk mencabut kutukannya. Namun dia tidak bersedia, lantaran sudah kadung (terlanjur–red) sakit hati. Akhirnya Nabi n/ pun menyuruh para sahabatnya agar mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Al-Qamah, supaya lekas mati. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, dia tak tega putranya mengalami nasib seperti itu, lalu mencabut kutukannya. Sedetik kemudian Al-Qamah mampu mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Lalu wafatlah dia.”
Kisah ini sangat masyhur dan laris, dipasarkan oleh para khatib di mimbar-mimbar, dan masyhur disampaikan di sekolah-sekolah terutama dalam buku-buku kurikulum atau dalam acara bid’ah yang biasa disebut sebagai Hari Ibu setiap tanggal 21 Maret (di Mesir).
Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (3/87). Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir (3/461), Al-Khara’iti dalam Masawi’ Al-Ahlaq, Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana disebutkan Imam Suyuthi dalam Al-‘Ali Al-Mashnu’ah (2/296).
Kisah ini BATIL. Sebab, kisah ini diriwayatkan dari jalan Faid Abu Warqa’ dari Abdullah bin Abi Aufa. Berikut, sekilas komentar ulama tentangnya:
Imam Ahmad berkata, “Matruk.” Ibnu Ma’in berkata, “Lemah dan tidak dipercaya.” Abu Hatim berkata, “Hadits-haditsnya dari Abdullah bin Abi Aufa adalah batil (termasuk hadits ini–pent). Seandainya ada orang yang bersumpah bahwa seluruh haditsnya (Faid bin Abu Warqa’) palsu, tidaklah dia disebut seorang pengecut.” Imam Bukhari berkata, “Munkarul Hadits.” Al-Hakim berkata, “Dia meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu).” (Lihat Tahdzib Tahdzib 4/459-460 oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar).
Komentar ulama tentang kisah ini:
a. Ibnul Jauzi juga mencantumkan kisah ini dalam Al-Maudhu‘at (3/87) tanpa menyebut nama Al-Qamah, lalu berkomentar, “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n/.”
b. Imam Adz-Dzahabi menyebutkan kisah ini secara ringkas dan berkata dalam Mizanul I’tidal (3/4), “Termasuk musibah Dawud bin Ibrahim adalah perkataannya: “Menceritakan kami Ja’far bin Sulaiman, menceritakan kami Faid dari Ibnu Abi Aufa.” kemudian beliau (Adz-Dzahabi) menyebutkan kisah ini lalu berkata, “Faid adalah seorang yang hancur.”
c. Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan hal serupa dalam Lisanul Mizan (3/8).
d. Al-Hafizh Al-Haitsami berkata dalam kitabnya Majma’uz Zawaid (8/271), “Hadits riwayat Ath-Thabrani dan Ahmad secara ringkas sekali, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Faid Abu Warqa’, dia seorang yang matruk.”
Penelitian tentang Al-Qamah
Nama Al-Qamah dalam kisah ini tidak jelas dan tersembunyi. Dan yakinnya hanya dibuat-buat oleh para pemalsu hadits. Sebab, sahabat Nabi yang bernama Al-Qamah sangat jauh dari kisah batil ini. Hal tersebut sangat jelas bagi mereka yang membaca sejarah sahabat yang bernama Al-Qamah seperti dalam kitab Al-Ishobah (4/262) no. 5654-5474 oleh Ibnu Hajar dan Usdul Ghabah (4/81) oleh Ibnu Atsir. Oleh karena itu, dalam kisah ini kita tidak mendapati secara jelas namanya. Baik ayah, kakek, nama qabilah, kunyahnya dan lain sebagainya.

3. Kisah tahkim (pemutusan hukum) antara Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash
Kisahnya sebagai berikut: “Tatkala keduanya (Abu Musa z/ dan Amr bin Ash z/) berkumpul di Daumatul Jandal, keduanya bersepakat untuk menurunkan Ali bin Abu Thalib z/ dan Muawiyah z/ dari kekhalifahan. Amr berkata kepada Abu Musa, “Silakan Anda berbicara dulu!” Abu Musa pun berdiri seraya berkata, “Aku telah pikirkan matang-matang ternyata sebaiknya aku turunkan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku turunkan pedangku ini dari pundakku.” (Lalu dia melepaskan pedangnya dari pundaknya). Tibalah giliran Amr bin Ash untuk berbicara. Dia pun berdiri seraya berkata, “Aku telah berpikir matang-matang ternyata sebaiknya aku mengangkat Muawiyah sebagai khalifah sebagaimana aku mengangkat pedangku ini dari tanah.” (Lalu dia mengambil pedangnya dan meletakkannya dia atas pundaknya). Mendengar hal tersebut Abu Musa pun tak tinggal diam, dia bergegas mengingkari dengan keras, namun jawab Amr bin Ash dengan mudah, “Demikianlah kesepakatan kita.”
Kisah ini juga masyhur dalam sejarah, khususnya di buku-buku kurikulum anak-anak kita untuk menodai nama baik sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan z/ dan Amr bin Ash z/ serta menggambarkan mereka sebagai orang yang sangat licik, musuh bebuyutan Ali bin Abi Thalib z/, politikus yang menghalalkan darah kaum muslimin, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Semua ini dusta—demi Alloh—disebabkan:
a. Kisah ini TIDAK SHAHIH, bahkan pemutarbalikan sejarah. Al-Qadhi Abu Bakar berkata dalam Al- Awashim minal Qawashim hal. 179, “Kisah ini seluruhnya dusta belaka, tidak pernah terjadi satu huruf pun. Ini hanyalah karangan ahli bid`ah yang diwarisi oleh orang-orang yang tidak mengerti.”
b. Kisah yang shahih adalah bahwa keduanya berkumpul dan membuahkan sebuah kesimpulan yaitu: “Menyerahkan keputusan terbaik kepada kaum muslimin, dan keduanya saling menghormati.” (lihat kisahnya dalam Al-Bidayah wa Nihayah 7/284 oleh Ibnu Katsir)
c. Kalaulah memang shahih, maka sikap yang benar menghadapi fitnah di antara sahabat Rasulullah z/ adalah menahan lidah kita dari mencela mereka dan mendo’akan ampun untuk mereka. Dalam hadits disebutkan:
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوْا
Apabila disebut sahabatku, maka tahanlah. (lihat Ash-Shahihah no. 34)
Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir (1/437), “Sabda beliau n/: Apabila disebut sahabatku, yaitu apa yang terjadi di antara mereka, berupa perselisihan dan peperangan. Adapun sabdanya n/: Tahanlah, yakni janganlah mencela mereka atau menyebut mereka dengan kata-kata yang tidak pantas karena mereka adalah sebaik-baik umat.”

4. Kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abu Nuwwas
Dalam buku-buku sejarah dan kisah sering diceritakan bahwa khalifah Harun Rasyid sangat senang berhura-hura, minum khamr dan berjoget bersama para penari dan penyanyi. Seperti dalam kitab Alfu Lailatin Lailatan (1001 Malam).
Semua ini tidak benar sama sekali!
Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Ini merupakan kedustaan, tuduhan dalam sejarah Islam. Adapun kitab Alfu Lailatin Lailatan merupakan kitab yang tidak dapat dijadikan sandaran, tidak sepantasnya seorang muslim—lebih-lebih penuntut ilmu—menghabiskan waktu untuk membacanya. Khalifah Harun Rasyid, beliau dikenal sebagai khalifah yang baik, istiqamah, dan adil dalam mengurusi rakyatnya. Maka tuduhan semacam itu hendaknya tidak dilirik sedikitpun....” (Nur ‘Ala Darb (29), lihat pula Kutub Hadzdzara minha Al-Ulama 2/61-62 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin juga berkata, “Ini merupakan kedustaan yang jelas dan kezhaliman yang nyata....” (Fatawa Islamiyah 4/187)
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali berkata, “Kita harus membersihkan sejarah Islam dari hal-hal yang digoreskan oleh para pemalsu dan pendusta beserta cucu-cucu mereka dari kalangan orientalis. Mereka menggambarkan bahwa sejarah Islam merupakan panggung anak kecil, musik, dan nyanyian. Para khalifah kaum muslimin tenggelam dalam syahwat dan kelezatan dunia, kurang memperhatikan kepentingan kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan oleh para perusak tersebut dalam menodai sejarah khalifah Harun Rasyid dan yang lain.” (Al-Jama’at Islamiyah, 430. Lihat biografi Harun Ar-Rasyid dalam Siyar A’lam Nubala 9/286 oleh Adz-Dzahabi)
Adapun tentang kisah-kisah dan dongeng Abu Nuwwas (yang terkenal di khalayak sebagai Abu Nawwas), maka Ibnu Manzhur, penulis kitab Lisanul ‘Arab, telah mengarang sebuah kitab berjudul Akhbar Abu Nuwwas. Dalam mukadimahnya, dengan hujjah yang terang dan kuat, dijelaskan bahwa kebanyakan dari dongeng-dongeng dan lelucon yang dinisbatkan kepada Abu Nuwwas adalah dusta belaka. (Lihat biografi Abu Nuwwas dalam Siyar A’lam Nubala 9/279-281 dan Wafayatul A’yan 2/95-104 oleh Ibnu Khalkan)

Inilah beberapa contoh kisah-kisah yang tidak shahih. Dan kita hendaknya waspada terhadap adanya kisah-kisah batil semacam ini. Semoga bermanfaat.

Ikuti kajian rutin MANHAJUS SALIKIN setiap Jum'at bersama al-Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa Download pengajian Jum'at ini dengan judul "Sholat Jum'at (1)"