tag:blogger.com,1999:blog-22673010084712314712024-03-13T07:45:21.402+07:00Meneladani Sunnah RosulAbu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-90938371480591315892010-02-11T02:44:00.000+07:002010-02-11T02:44:10.968+07:00HUKUM MERAYAKAN MAULID NABI<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CABUHUD%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C03%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="State" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><style>
<!--
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b>HUKUM MERAYAKAN MAULID NABI<br />
<i>SHALALLAHU ‘<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">ALAIHI</st1:city> <st1:state w:st="on">WA</st1:state></st1:place> SALLAM</i></b><br />
Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin </div><div class="MsoNormal"><br />
<br />
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin <i>rahimahullah Ta’ala</i> ditanya:”Apa hukumnya merayakan maulid Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>?”<br />
<br />
<b>Jawab:</b> Pertama: Malam kelahiran Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa itu terjadi pada malam kesembilan Rabi’ul Awwal, bukan pada malam kedua belas. Tetapi saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas yang tidak ada dasarnya dalam tinjauan sejarah.</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt;"><br />
Kedua: Dipandang dari sisi aqidah juga tidak ada dasarnya. Dan kalaulah itu dari syari’at Allah, tentulah dilaksanakan oleh Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> atau disampaikan kepada umat beliau. Dan kalaulah Rasulullah <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> mengerjakannya atau menyampaikan kepada umat beliau, maka mestinya amalan itu terjaga karena Allah <i>Subhanahu wa Ta’ala</i> berfirman:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-size: large;"><span dir="LTR" style="color: #741b47;">إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9) سورة الحجر</span></span>.<o:p></o:p></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt;"><br />
<i>“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”</i> (QS. Al-Hijr: 9).<br />
<br />
Ketika ternyata tidak didapati, maka dapat diketahui bahwa hal itu bukan termasuk ajaran Islam. Dan jika bukan termasuk ajaran agama Allah, maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah<span style="color: blue; font-size: x-small;"> 1)</span> kepada Allah <i>Azza wa Jalla</i> dan tidak boleh menjadikannya sebagai amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika Allah telah menetapkan suatu jalan yang sudah ditentukan agar dapat sampai kepada-Nya itulah yang datang kepada Rasul-Nya <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>., maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri yang akan menghantarkan kepada-Nya, padahal kita adalah seorang hamba? Ini berarti mengambil hak Allah <i>Azza wa Jalla</i>, yaitu membuat syari’at yang bukan dari-Nya dan kita masukkan ke dalam ajaran agama Allah. Ini juga merupakan pendustaan terhadap firman Allah <i>Azza wa Jalla</i>:</div><div class="MsoNormal" style="color: #741b47; text-align: center;"><span style="font-size: large;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا…. (3) سورة المائدة</span></b></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt;"><br />
<i>“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nukmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam sebagai agama bagimu…”</i> (QS. Al-Maidah: 3).<br />
<br />
Maka kami katakana: Bila pernyataan ini termasuk bagian dari kesempurnaan ajaran agama, tentunya sudah ada sebelum Rasul <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> wafat dan jika tidak, maka hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan agama, karena Allah <i>Subhanahu wa Ta’ala</i> berfirman:</div><div class="MsoNormal" style="color: #741b47; text-align: center;"><span style="font-size: large;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا…. (3) سورة المائدة</span></b></span></div><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"><br />
<i>“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nukmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam sebagai agama bagimu…”</i> (QS. Al-Maidah: 3).<br />
<br />
Bagi siapa yang menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi termasuk ajaran agama, maka telah membuat hal-hal yang baru sepeninggal Rasulullah <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat-ayat yang mulia ini. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang merayakan maulid Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> ingin mengagungkan beliau, nampaknya kecintaan dan besarnya harapan untuk mendapatkan kasih sayang Rasulullah <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> dari perayaan yang diadakan dan untuk menghidupkan semangat kecintaan pada Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Semua ini termasuk ibadah; mencintai Rasul <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> adalah ibadah bahkan iman seseorang tidak akan sempurna sehingga Rasul lebih dicintai daripada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan semua manusia. Mengagungkan Rasul juga termasuk ibadah, demikian juga haus akan kasih sayang Rasul, juga termasuk agama, karena dengan demikian seseorang menjadi cenderung kepada syar’at beliau <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Jika demikian, maka tujuan perayaan maulid Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan pengagungan terhadap Rasul-Nya <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Ini adalah ibadah, bila ini ibadah maka tidak boleh membuat hal-hal baru –yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya selama-lamanya. Maka perayaan maulid Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> adalah bid’ah dan haram.<br />
<br />
Kemudian kita juga mendengarkan bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diterima oleh syara’, perasaan maupun akal. Mereka bernyanyi-nyanyi untuk maksud-maksud tertentu yang sangat berlebihan tentang Rasul <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Sehingga mereka menjadikan Rasul <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> lebih agung/besar dari pada Allah –kita berlindung kepada-Nya-. Kita mendengar juga, karena kebodohan sebagian orang-orang yang merayakan maulid nabi, bahwa jika seseorang membaca kisah tentang kelahiran Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i><span style="font-size: x-small;"><span style="color: blue;"> 2)</span></span> kemudian sampai pada lafadz “nabi dilahirkan” dengan serempak mereka berdiri. Kata mereka, Rasul <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> telah datang, maka kamipun berdiri untuk mengagungkan beliau”, ini adalah kebodohan. Ini bukanlah adab, karena beliau <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> membenci bila disambut dengan berdiri. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> sahabat beliau adalah orang-orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau, namun mereka tidak berdiri menyambut beliau, karena mereka mengetahui beliau membenci hal itu. Saat beliau masih hidup saja tidak boleh, apatah lagi setelah beliau tidak ada (wafat).<br />
<br />
Bid’ah ini – yakni bid’ah peringatan maulid nabi terjadi setelah berlalunya tiga generasi terbaik umat- dan dalam perayaan itu terdapat pula beberapa kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang yang merayakannya yang bukan dari pokok-pokok ajaran agama. Terlabih lagi dengan terjadinya <i>ikhtilat</i> (campur barur) antara laki-laki dan perempuan. Dan masih banyak kemungkaran-kemungkaran yang lain.<br />
<br />
<br />
Sumber: <i>Majmu’ Fatawa fii Arkanil Islam</i>, soal no. 89.<br />
<br />
<b>Catatan kaki:</b><br />
<br />
<span style="color: blue;">1)</span> Ibadah adalah kumpulan nama-nama dari apa-apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah <i>Azza wa Jalla</i> baik yang nampak atau tidak (Lihat <i>Fathul Majid</i> <i>Syarh Kitabut Tauhid</i>).<br />
<br />
<span style="color: blue;">2)</span> Debaan (bahasa <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Cirebon</st1:place></st1:city>).</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-76061731310322406142009-12-31T01:36:00.000+07:002009-12-31T01:36:21.071+07:00HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARUDi susun oleh: Ummu Aiman<br />
Di Muroja'ah oleh: Ustadz Abu Salman<br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Beberapa hari setelah natal berlalu, masyarakat mulai disibukkan dengan persiapan menyambut tahun baru masehi pada tanggal satu Januari. Bagaimana Islam memandang hal ini?</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Saudariku, Allah telah menganugerahkan dua hari raya kepada kita, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dimana kedua hari raya ini disandingkan dengan pelaksanaan dua rukun yang agung dari rukun Islam, yaitu ibadah haji dan puasa Ramadhan. Di dalamnya, Allah memberi ampunan kepada orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, serta menebarkan rahmat kepada seluruh makhluk.</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Ukhti, hanya dua hari raya inilah yang disyariatkan oleh agama Islam. Diriwayatkan dari Anas <em>radhiallahu ‘anhu</em> bahwa ia berkata, <em>“Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main di hari raya itu pada masa jahiliyyah, lalu beliau bersabda: ‘Aku datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bermain di hari itu pada masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan idul Fitri.’”</em> (Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Al-Baghawi)</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Maka tidak boleh umat Islam memiliki hari raya selain dua hari raya di atas, misalnya Tahun Baru. Tahun Baru adalah hari raya yang tidak ada tuntunannya dalam Islam. Disamping itu, perayaan Tahun Baru sangat kental dengan kemaksiatan dan mempunyai hubungan yang erat dengan perayaan natal. Lihatlah ketika para remaja berduyun-duyun pergi ke pantai saat malam tahun baru untuk begadang demi melihat matahari terbit pada awal tahun, kebanyakan dari mereka adalah berpasang-pasangan sehingga tentu saja malam tahun baru ini tidak lepas dari sarana-sarana menuju perzinaan. Jika tidak terdapat sarana menuju zina, maka hal ini dapat dihukumi sebagai perbuatan yang sia-sia. Ingatlah saudariku, ada dua kenikmatan dari Allah yang banyak dilalaikan oleh manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang (HR Bukhari). Maka janganlah kita isi waktu luang kita dengan hal sia-sia yang hanya membawa kita ke jurang kenistaan dan menjadikan kita sebagai insan yang merugi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;">Saudariku, Allah telah menyempurnakan agama ini dan tidak ada satupun amal ibadahpun yang belum Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> sampaikan kepada umatnya. Maka tidak ada lagi syari’at dalam Islam selain yang telah Allah wahyukan kepada Muhammad <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, tidak ada lagi syari’at dalam Islam selain yang telah Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> ajarkan pada kita. Saudariku, ikutilah apa yang Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> tuntunkan kepada kita, janganlah engkau meniru-niru orang kafir dalam ciri khas mereka. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut (Hadits dari Ibnu ‘Umar dengan sanad yang bagus). Setiap diri kita adalah pemimpin bagi dirinya sendiri dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin. Semoga Allah senantiasa menyelamatkan agama kita. <em>Wallaahu a’lam.</em></span></span></span><br />
<br />
<strong><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Maraji’:</span></strong><br />
<ol><li><span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;"><em>Fatwa: Natal Bersama</em>. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun III. </span></span></span> </li>
<li><span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;"><em>Fatwa: Natal Bersama</em>. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun IV. </span></span></span> </li>
<li><span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;"><em>Fatwa-Fatwa Terkini 2</em>. Cetakan ketiga. Tahun 2006. Darul Haq. </span></span></span> </li>
<li><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Bulletin At-Tauhid Edisi 96 Tahun II. </span></li>
</ol>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-2300717783505847462009-12-31T01:30:00.000+07:002009-12-31T01:30:56.234+07:00HUKUM NATAL BERSAMADisusun oleh: Ummu Aiman<br />
Di Muroja'ah oleh: Ustadz Abu Salman<br />
<br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Setiap bulan Desember umat nasrani merayakan hari raya agama mereka, yaitu Hari Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember. Mendekati bulan ini, beberapa sudut pertokoan mulai ramai dengan hiasan natal. Supermarket-supermarket yang mulanya sepi-sepi saja, kini dihiasi dengan pernak-pernik natal. Media massa pun tidak ketinggalan ikut memeriahkan hari raya ini dengan menayangkan acara-acara spesial natal.</span><br />
<span id="more-77"></span><br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Disudut kampus, seorang mahasiswi berkerudung menjabat tangan salah seorang teman wanitanya yang beragama nasrani sambil berkata, <em>“Selamat Natal ya…”</em> <em>Aih-aih</em>, tidak tahukah sang muslimah ini bagaimana hukum ucapan tersebut dalam syariat Islam?</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Saudariku, banyak sekali umat Islam yang tidak mengetahui bahwa perbuatan ini tidak boleh dilakukan, dengan tanpa beban dan tanpa merasa berdosa ucapan selamat natal itu terlontar dari mulut-mulut mereka. Mereka salah kaprah tentang toleransi beragama sehingga dengan gampang dan mudahnya mereka mengucapkan selamat natal pada teman dan kerabat mereka yang beragama nasrani. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan islam dalam perkara ini? Berikut ini adalah bahasan seputar natal yang disusun dari beberapa fatwa ulama.</span><br />
<br />
<strong><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Natal Menurut Islam</span></strong><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Peringatan Natal, memiliki makna ‘Memperingati dan mengahayati kelahiran Yesus Kristus’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas terbitan Balai Pustaka). Menurut orang-orang nasrani, Yesus (dalam Islam disebut dengan ‘Isa) dianggap sebagai anak Tuhan yang lahir dari rahim Bunda Maria. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan syariat Islam yang mengimani bahwa Nabi ‘Isa <em>‘alaihis sallam</em> bukanlah anak Tuhan yang dilahirkan ke dunia melainkan salah satu nabi dari nabi-nabi yang Allah utus untuk hamba-hamba-Nya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;">Allah Ta’ala berfirman dalam QS Maryam: 30 yang artinya, <em>“Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah (manusia biasa). Dia memberikan kepadaku Al Kitab (Injil) dan menjadikanku sebagai seorang Nabi.’”</em></span></span></span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Wahai Saudariku, maka barangsiapa dari kita yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim, maka ia harus meyakini bahwa ‘Isa adalah seorang Nabi yang Allah utus menyampaikan risalah-Nya dan bukanlah anak Tuhan dengan dasar dalil di atas.</span><br />
<br />
<strong><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Tentang Ucapan Selamat Natal</span></strong><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Atas nama toleransi dalam beragama, banyak umat Islam yang mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani baik kepada kerabat maupun teman. Menurut mereka, ini adalah salah satu cara untuk menghormati mereka. Ini alasan yang tidak benar, sikap toleransi dan menghormati tidak mesti diwujudkan dengan mengucapkan selamat kepada mereka karena di dalam ucapan tersebut terkandung makna kita setuju dan ridha dengan ibadah yang mereka lakukan. Jelas, ini bertentangan dengan aqidah Islam.</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Ketahuilah saudariku, hari raya merupakan hari paling berkesan dan juga merupakan simbol terbesar dari suatu agama sehingga seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat kepada umat nasrani atas hari raya mereka karena hal ini sama saja dengan meridhai agama mereka dan juga berarti tolong-menolong dalam perbuatan dosa, padahal Allah telah melarang kita dari hal itu:</span><br />
<br />
<span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;"><em>Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.</em> (QS Al Maidah: 2)</span></span></span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Ketahuilah wahai saudariku muslimah, ketika seseorang mengucapkan selamat natal kepada kaum nasrani, maka di dalam ucapannya tersebut terdapat kasih sayang kepada mereka, menuntut adanya kecintaan, serta menampakkan keridhaan kepada agama mereka. Seseorang yang mengucapkan selamat natal kepada mereka, sama saja dia setuju bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan merupakan salah satu Tuhan diantara tiga Tuhan. Dengan mengucapkan selamat pada hari raya mereka, berarti dia rela terhadap simbol-simbol kekufuran. Meskipun pada kenyataannya dia tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap saja tidak diperbolehkan meridhai syiar agama mereka, atau mengajak orang lain untuk memberi ucapan selamat kepada mereka. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya karena itu bukan hari raya kita, bahkan hari raya itu tidaklah diridhai Allah.</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Ibnul Qayyim <em>rahimahullah</em> menyebutkan, adapun ucapan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran secara khusus disepakati hukumnya haram misalnya mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan, ‘Hari yang diberkahi bagimu’ atau ‘Selamat merayakan hari raya ini’, dan sebagainya. Yang demikian ini, meskipun si pengucapnya terlepas dari kekufuran, tetapi perbuatan ini termasuk yang diharamkan, yaitu setara dengan ucapan selamat atas sujudnya terhadap salib, bahkan dosanya lebih besar di sisi Allah dan kemurkaan Allah lebih besar daripada ucapan selamat terhadap peminum khamr, pembunuh, pezina, dan lainnya dan banyak orang yang tidak mantap pondasi dan ilmu agamanya akan mudah terjerumus dalam hal ini serta tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena kemaksiatan, bid’ah, atau kekufuran, berarti dia telah mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah.</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Dengan demikian, tidaklah diperkenankan seorang muslim mengucapkan selamat natal meskipun hanya basa-basi ataupun hanya sebagai pengisi pembicaraan saja.</span><br />
<br />
<strong><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Menghadiri Pesta Perayaan Natal</span></strong><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Hukum menghadiri pesta perayaan natal tidak jauh bedanya dengan hukum mengucapkan selamat natal. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum menghadiri perayaan natal lebih buruk lagi ketimbang sekedar memberi ucapan selamat natal kepada orang kafir karena dengan datang ke perayaan tersebut, maka berarti ia ikut berpartisipasi dalam ritual agama mereka. Dan dengan menghadiri pesta perayaan tersebut berarti telah memberikan kesaksian palsu (<em>Syahadatuzzur</em>) terhadap ibadah yang mereka lakukan dan ini dilarang dalam agama Islam (lihat <em>Tafsir Taisir Karimirrahman</em>, Surat Al Furqon ayat 72).</span><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Allah berfirman yang artinya:</span><br />
<br />
<em><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamu, dan untukkulah agamaku.”</span></em><br />
<br />
<span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Maka Saudariku, seorang muslim diharamkan untuk hadir pada perayaan keagamaan di luar agama islam baik ia diundang ataupun tidak.</span><br />
<br />
<strong><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Maraji’:</span></strong><br />
<ol><li><span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;"><em>Fatwa: Natal Bersama</em>. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun III. </span></span></span> </li>
<li><span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;"><em>Fatwa: Natal Bersama</em>. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun IV. </span></span></span> </li>
<li><span style="font-family: lucida sans unicode,lucida;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #336666;"><em>Fatwa-Fatwa Terkini 2</em>. Cetakan ketiga. Tahun 2006. Darul Haq. </span></span></span> </li>
<li><span style="color: #336666; font-family: lucida sans unicode,lucida; font-size: small;">Bulletin At-Tauhid Edisi 96 Tahun II. </span></li>
</ol>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-80413649006712537612009-12-16T16:34:00.002+07:002009-12-20T12:16:23.110+07:00BID'AH-BID'AH DI BULAN MUHARROMOleh: Abu Abdillah Syahrul Fatwa as-Salim<br />
<br />
<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CABUHUD%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="State" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Traditional Arabic";
panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0;
mso-font-charset:178;
mso-generic-font-family:auto;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:24577 0 0 0 64 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
/* List Definitions */
@list l0
{mso-list-id:1782794487;
mso-list-type:hybrid;
mso-list-template-ids:1279065988 -124224736 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;}
@list l0:level1
{mso-level-tab-stop:none;
mso-level-number-position:left;
text-indent:-.25in;
mso-ansi-font-style:normal;
mso-bidi-font-style:normal;}
ol
{margin-bottom:0in;}
ul
{margin-bottom:0in;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Keyakinan bahwa bulan Muharrom bulan keramat<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Keyakinan semacam ini masih bercokol pada sebagian masyarakat. Atas dasar keyakinan ala jahiliyyah inilah banyak dikalangan masyarakat yang enggan menikahkan putrinya pada bulan ini karena alasan akan membawa sial dan kegagalan dalam berumah tangga!! (-lihat- <i>Syarh Masail al-Jahliyyah, </i>DR. Sholih al-Fauzan hal.302). ketahuilah saudaraku, hal ini adalah keyakinan jahiliyyah yang telah dibatalkan oleh Islam. Kesialan tidak ada sangkut pautnya dengan bulan, baik Muharrom, Shafar atau bulan-bulan lainnya.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Doa awal dan akhir tahun<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata: "Tidak ada dalam syariat ini sedikitpun doa atau dzikir untuk awal tahun. Manusia zaman sekarang banyak membuat bid'ah berupa doa, dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharrom dengan sholat, dzikir atau doa, puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali!!". (<i>Tashih ad-Duu'a, </i>Bakr Abu Zaid hal.107)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Peringatan tahun baru hijriyyah<i><o:p></o:p></i></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Tidak ragu lagi perkara ini termasuk bid'ah. Tidak ada keterangan dalam as-Sunnah anjuran mengadakan peringatan tahun baru hijriyyah. Perkara ini termasuk bid'ah yang jelek. (<i>Bida' wa Akhto' </i>hal.218. Lihat secara luas masalah ini dalam risalah <i>Al-Ikhtifal bi Ra'si Sanah wa Musybahati ashabil jahim </i>oleh Abdulloh bin Abdul Hamid al-Atsari)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">4.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Puasa awal tahun baru hijriyyah<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Perkara ini termasuk bid'ah yang mungkar. Demikian pula puasa akhir tahun, termasuk bid'ah. Hanya dibuat-buat yang tidak berpijak pada dalil sama sekali!. Barangkali mereka berdalil dengan sebuah hadits yang berbunyi;<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="color: #365f91; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 22pt;">مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِْجَّةِ, وَاَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ, فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةَ بِصَوْمٍ, جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةً خَمْسِيْنَ سَنَةً<o:p></o:p></span></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: Arial;"><span dir="LTR"></span>"Barang siapa yang puasa pada akhir hari Dzulhijjah dan puasa awal tahun pada bulan Muharrom, maka dia telah menutup akhir tahun dengan puasa dan membuka awal tahunnya dengan puasa. Semoga Alloh menghapuskan dosanya selama <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">lima</st1:place></st1:city> puluh tahun!!". </span></i><span style="color: black; font-family: Arial;">Hadits ini adalah hadits yang palsu menurut timbangan para ahli hadits. (<i>al-A'lai al-Mashnu'ah, </i>as-Suyuti 2/108, <i>Tanziihus Syari'ah, </i>Ibnu Arroq 2/148, <i>al-Fawaid al-Majmu'ah, </i>as-Syaukani no.280. <i>Kritik Hadits-hadits Dho'if populer, </i>Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi hal.114)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">5.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Menghidupkan malam pertama bulan Muharrom<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Syaikh Abu Syamah berkata: "Tidak ada keutamaan sama sekali pada malam pertama bulan Muharrom. Aku sudah meneliti atsar-atsar yang shohih maupun yang lemah dalam masalah ini. Bahkan dalam hadits-hadits yang palsu juga tidak disebutkan!!, aku khawatir –aku berlindung kepada Alloh- bahwa perkara ini hanya muncul dari seorang pendusta yang membuat-buat hadits!!. (<i>al-Ba'its <st1:state w:st="on"><st1:place w:st="on">Ala</st1:place></st1:state> Inkaril Bida' wal Hawadits </i>hal.239).<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">6.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Menghidupkan malam hari 'Asyuro<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Sangat banyak sekali kemungkaran dan bid'ah-bid'ah yang dibuat pada hari 'Asyuro. (lihat <i>Iqtidho' as-Shiroth al-Mustaqim </i>2/129-134, <i>Majmu' Fatawa </i>25/307-314 keduanya oleh Ibnu Taimiyyah, <i>al-Ibda' fi Madhoril Ibtida' </i>Ali Mahfuzh hal.56, 269, <i>as-Sunan wal Mubtada'at </i>hal.154-158, 191). Kita mulai dari malam harinya. Banyak manusia yang menghidupkan malam hari 'Asyuro, baik dengan sholat, doa dan dzikir atau sekedar berkumpul-kumpul. Perkara ini jelas tidak ada tuntunan yang menganjurkannya.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: "Termasuk bentuk bid'ah dzikir dan doa adalah menghidupkan malam hari 'Asyuro dengan dzikir dan ibadah. Mengkhususkan doa pada malam hari ini dengan nama doa hari 'Asyuro, yang konon katanya barangsiapa yang membaca doa ini tidak akan mati tahun tersebut. Atau membaca <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">surat</st1:place></st1:city> al-Qur'an yang disebutkan nama Musa pada sholat subuh hari 'Asyuro. (<i>Bida' al-Qurro </i>Bakr Abu Zaid hal.9). semua ini adalah perkara yang tidak dikehendaki oleh Alloh, Rosul-Nya dan kaum mukminin!!". (<i>Tashihud Du'a </i>hal.109).<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">7.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Sholat 'Asyuro<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Sholat 'Asyuro adalah sholat yang dikerjakan antara waktu zhuhur dan ashar, empat rakaat, setiap rakaat membaca al-Fatihah sekali, kemudian membaca ayat kursi sepuluh kali, <i>Qul Huwallohu Ahad </i>sepuluh kali, al-Falaq dan an-Nas lima kali. Apabila selesai salam, istighfar tujuh puluh kali. Orang-orang yang menganjurkan sholat ini dasarnya hanyalah sebuah hadits palsu!! (<i>al-Fawaid al-Majmu'ah </i>no.60<i> al-Alaa'i al-Masnu'ah </i>2/92).<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">As-Syuqoiry berkata: "Hadits sholat 'Asyuro adalah hadits palsu. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> perowinya majhul, sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuti dalam al-Aala'i al-Masnu'ah. Tidak boleh meriwayatkan hadits ini, lebih-lebih sampai mengamalkannya!!" (<i>as-Sunan wal Mubtada'at </i>hal.154)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">8.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Doa hari 'Asyuro<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Diantara contoh doa 'Asyuro adalah: "Barangsiapa yang mengucapkan <b><i>Hasbiyalloh wa Ni'mal Wakil an-Nashir</i></b> sebanyak tujuh puluh kali pada hari 'Asyuro maka Alloh akan menjaganya dari kejelekan pada hari itu".<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Doa ini tidak ada asalnya dari Nabi, para sahabat maupun para tabi'in. tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang lemah apalagi hadits yang shohih. Doa ini hanya berasal dari ucapan sebagian manusia!!. Bahkan sebagian syaikh sufi ada yang berlebihan bahwa barangsiapa yang membaca doa ini pada hari 'Asyuro dia tidak akan mati pada tahun tersebut!!. (<i>Du'a Khotmil Qur'an, </i>Ahmad Muhammad al-Barrok, buku ini sarat dengan khurofat dan kedustaan!!. [<i>Bida' wa Akhtho </i>hal.230]). Ucapan ini jelas bathil dan mungkar, karena Alloh telah berfirman:<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="color: #943634; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 22pt;">إِنَّ أَجَلَ اللَّهِ إِذَا جَاء لا يُؤَخَّرُ لَوْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ</span></b><span lang="AR-SA" style="color: #943634; font-family: Arial;"><o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="color: black; font-family: Arial;">Sesungguhnya ketetapan Alloh apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui. </span></i><span style="color: black; font-family: Arial;">(QS. Nuh: 4)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">9.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Memperingati hari kematian Husein<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Pada bulan Muharrom, kelompok Syi'ah setiap tahunnya mengadakan upacara kesedihan dan ratapan dengan berdemontrasi ke jalan-jalan dan lapangan, memakai pakaian serba hitam untuk mengenang gugurnya Husain. Mereka juga memukuli pipi mereka sendiri, dada dan punggung mereka, menyobek saku, menangis berteriak histeris dengan menyebut: Ya Husain. Ya Husain!!!<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Lebih-lebih pada tanggal 10 Muharrom, mereka lakukan lebih dari itu, mereka memukuli diri sendiri dengan cemeti dan pedang sehingga berlumuran darah!!! Anehnya, mereka menganggap semua itu merupakan amalan ibadah dan syi'ar Islam!! Hanya kepada Alloh kita mengadu semua ini. (lihat <i>Min Aqoid Syi'ah</i>/Membongkar kesesatan Aqidah Syi'ah hlm.57-58, Syaikh Abdulloh bin Muhammad).<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: "Adapun menjadikan hari 'Asyuro sebagai hari kesedihan/ratapan sebagaimana dilakukan oleh kaum Rofidhoh karena terbunuhnya Husain bin Ali, maka hal itu termasuk perbuatan orang yang tersesat usahanya dalam kehidupan dunia sedangkan dia mengira berbuat baik. Alloh dan rosulNya saja tidak pernah memerintahkan agar hari mushibah dan kematian para Nabi dijadikan ratapan, lantas bagaimana dengan orang yang selain mereka?!" (<i>Lathoiful Ma'arif </i>hlm.113)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Husain bin Ali bin Abi Tholib adalah cucu Rosululloh dari perkawinan Ali bin Abi Tholib dengan putrinya Fatimah binti Rosululloh. Husain sangat dicintai oleh Rosululloh. Beliau bersabda:<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="color: #365f91; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 22pt;">حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ ، أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا ، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ الأَسْبَاط</span></b><span lang="AR-SA" style="color: #365f91; font-family: Arial;"><o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="color: black; font-family: Arial;">Husain adalah bagianku juga dan aku adalah bagian Husain. Semoga Alloh mencintai orang yang mencintai Husain. Husain termasuk cucu keturunanku.</span></i><span style="color: black; font-family: Arial;"> [HR. Tirmidzi: 3775, Ibnu Majah:114, Ibnu Hibban: 2240, Hakim: 3/177, Ahmad: 4/172, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shohihah: 1227]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Husain terbunuh pada peristiwa yang sangat tragis, yaitu pada 10 muharrom tahun 61 H, disebuah tempat bernama Karbala, karenanya peristiwa ini kemudian lebih dikenal dengan peristiwa Karbala. (lihat kisah lengkapnya dalam <i>al-Bidayah wan Nihayah</i> Ibnu Katsir 8/172-191)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Namun, apapun musibah yang terjadi dan betapapun kita sangat mencintai keluarga Rosululloh bukan alasan untuk bertindak melanggar aturan syariat dengan memperingati hari kematian Husain!!. Sebab, peristiwa terbunuhnya orang yang dicintai Rosululloh sebelum Husain juga pernah terjadi seperti terbunuhnya Hamzah bin Abdil Mutholib, dan hal itu tidak menjadikan Rosululloh dan para sahabatnya mengenang atau memperingati hari peristiwa tersebut, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syiah untuk mengenang terbunuhnya Husain!!. (<i>Syarh al-Muharrom wa Yaum 'Asyuro, </i>Abdulloh Haidir hal.29)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">10.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Peringatan hari suka cita<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Yang dimaksud hari suka cita adalah hari menampakkan kegembiraan, menghidangkan makanan lebih dari biasanya dan memakai pakaian bagus. Mereka yang membuat acara ini, ingin menyaingi dan mengganti hari kesedihan atas peristiwa terbunuhnya Husain dengan kegembiraan, kontra dengan apa yang dilakukan orang-orang Syiah. Tentunya, acara semacam ini tidak dibenarkan, karena bid'ah tidak boleh dilawan dengan bid'ah yang baru!! Dan tidak ada satu dalilpun yang membolehkan acara semacam ini. (<i>Majmu' Fatawa </i>25/309-310<i>, Iqtidho as-Siroth al-Mustaqiem </i>2/133,<i> Tamamul Minah, </i>al-Albani hal.412)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">11.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><span dir="LTR"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Berbagai ritual dan adat di tanah Air<o:p></o:p></span></b></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Di tanah air, bila tiba hari 'Asyuro kita akan melihat berbagai adat dan ritual yang beraneka ragam dalam rangka menyambut hari istimewa ini. Apabila kita lihat secara kacamata syar'i, adat dan ritual ini tidak lepas dari kesyirikan! Seperti meminta berkah dari benda-benda yang dianggap sakti dan keramat, bahkan yang lebih mengenaskan sampai kotoran sapi-pun tidak luput untuk dijadikan alat pencari berkah!!. (diantara adat ritual yang sering dilakukan didaratan Jawa adalah yang dikenal dengan istilah Kirab 1 Syuro. Acara ini sarat dengan kesyirikan, mulai dari keyakinan mereka terhadap benda pusaka keraton, keyakinan kerbau yang punya kekuatan ghaib, tirakatan dengan doa dan dzikir pada malam harinya dan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang sangat jelas!!. Wallohul Musta'an)<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;"> Demikianlah akhir yang dapat kami kumpulkan tentang amalan dibulan Muharrom. Semoga bermanfaat. Allohu A'lam.<o:p></o:p></span><br />
</div><br />
<a href="http://www.4shared.com/file/175010649/bf3eba4f/MUHARROM_BULAN_KERAMAT.html">Klik link ini untuk mendapatkan MUHARRAM BULAN KERAMAT terlengkap</a><br />
Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-35596997201688251272009-12-16T15:55:00.001+07:002009-12-16T16:38:12.100+07:00BAGAIMANA CARA BERPUASA 'ASYURO?Oleh: Abu Abdillah Syahrul Fatwa as-Salim<br />
<br />
<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CABUHUD%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><style>
<!--
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Puasa 'Asyuro ada tiga tingkatan (<i>Zaadul Ma'ad </i>Ibnul Qoyyim 2/72, <i>Fthul Bari </i>4/289, <i>Tuhfatul </i>Ahwadzi 3/526) yang bisa dikerjakan;<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Pertama:</span></b><span style="color: black; font-family: Arial;"> Berpuasa sebelum dan sesudahnya. Yaitu tanggal 9-10-11 Muharrom. Dan inilah yang paling sempurna.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Kedua:</span></b><span style="color: black; font-family: Arial;"> Berpuasa pada tanggal 9 dan 10, dan inilah yang paling banyak ditunjukkan dalam hadits.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Ketiga: </span></b><span style="color: black; font-family: Arial;">Berpuasa pada tanggal 10 saja. (Syaikhul Islam berkata: "Puasa hari 'Asyuro menghapus dosa setahun, tidak dibenci apabila berpuasa pada hari ini saja". <i>Al-Akhbar al-Ilmiyyah Min al-Ikhtiyaroot al-Fiqhiyyah, </i>Alaudin Ali bin Muhammad al-Ba'li hal. 164).<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;"> Adapun berpuasa hanya tanggal 9 saja tidak ada asalnya. Keliru dan kurang teliti dalam memahami hadits-hadits yang ada. (<i>Zaadul Ma'ad </i>2/72).<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Berkaitan dengan cara yang pertama, yaitu berpuasa tiga hari (9-10-11) para ulama melemahkan hadits Ibnu Abbas (yaitu hadits yang berbunyi: "Puasalah pada hari 'Asyuro dan berbedalah dengan orang Yahudi. Berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari setelahnya") yang menjadi sandarannya. (lihat <i>Nailul Author</i> Syaukani 4/273, <i>Dhoif al-Jami' as-Shoghir </i>no.3506, <i>Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah </i> hal.177 keduanya oleh al-Albani, <i>Tuhfatul Ahwadzi </i>3/527). Namun demikian, pengamalannya tetap dibenarkan oleh para ulama, (<i>Zaadul Ma'ad </i>2/73, <i>Fathul Bari </i>4/289, <i>al-Mughni </i>Ibnu Qudamah 4/441, <i>Lathoiful Ma'arif </i>hal.109) dengan alasan sebagai berikut (<i>as-Shiyam fil Islam, </i>DR. Said bin Ali al-Qohthoni hal.364);<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Pertama: </span></b><span style="color: black; font-family: Arial;">Sebagai kehati-hatian. Karena bulan Dzulhijjah bisa 29 atau 30 hari. Apabila tidak diketahui penetapan awal bulan dengan tepat, maka berpuasa pada tanggal 11-nya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapati puasa Tasu'a (tanggal 9) dan puasa 'Asyuro (tanggal 10).<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Kedua: </span></b><span style="color: black; font-family: Arial;">Dia akan mendapat pahala puasa tiga hari dalam sebulan, sehingga baginya pahala puasa sebulan penuh. [berdasarkan hadits riwayat Muslim: 1162]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Ketiga: </span></b><span style="color: black; font-family: Arial;">Dia akan berpuasa tiga hari pada bulan Muharrom yang mana Nabi telah mengatakan; <i>Puasa yang paling afdhol setelah puasa Romadhon adalah puasa pada bulan Alloh al-Muharrom. </i>[HR. Muslim: 1163]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Keempat: </span></b><span style="color: black; font-family: Arial;">Tercapai tujuan dalam menyelisihi orang Yahudi, tidak hanya puasa 'Asyuro akan tetapi menyertakan hari lainnya juga. (<i>Fathul Bari </i>4/245, <i>Syarah Riyadhus Sholihin </i>Ibnu Utsaimin 5/305). Allohu A'lam.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Faedah: Bila 'Asyuro jatuh pada hari jum'at atau sabtu?</span></b><span style="color: black; font-family: Arial;"><o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;"><st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> hadits-hadits yang berisi larangn menyendirikan puasa jum'at dan larangan puasa sabtu kecuali puasa yang wajib. Apakah larangan ini tetap berlaku ketika hari 'Asyuro jatuh pada hari jum'at atau sabtu?<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Adapun bagi orang yang tidak menyengaja untuk puasa karena hari jum'at atau sabtu, seperti orang yang puasa sehari sebelum dan sesudahnya atau kebiasaannya adalah puasa sehari dan berbuka sehari, maka boleh baginya puasa jum'at walaupun sebelum dan sesudahnya tidak puasa, atau dia ingin puasa Arafah atau 'Asyuro yang jatuh pada hari jum'at, maka tidaklah dilarang, karena larangan itu hanya bagi orang yang sengaja ingin mengkhususkan (hari jum'at dan sabtu tanpa sebab-pen).</span><br />
<br />
<span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">Baca Lanjutannya: <a href="http://addimaki.blogspot.com/2009/12/bidah-bidah-di-bulan-muharrom.html">BID'AH-BID'AH DI BULAN MUHARROM</a> <br />
</span><br />
Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-26526507210370928362009-12-16T15:47:00.001+07:002009-12-16T16:28:14.256+07:00KEUTAMAAN PUASA ASYUROOleh: Abu Abdillah Syahrul Fatwa as-Salim<br />
<br />
<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CABUHUD%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Traditional Arabic";
panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0;
mso-font-charset:178;
mso-generic-font-family:auto;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:24577 0 0 0 64 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
/* List Definitions */
@list l0
{mso-list-id:602491293;
mso-list-type:hybrid;
mso-list-template-ids:-1433106638 -1769290912 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;}
@list l0:level1
{mso-level-tab-stop:.5in;
mso-level-number-position:left;
text-indent:-.25in;
mso-ansi-font-weight:bold;}
ol
{margin-bottom:0in;}
ul
{margin-bottom:0in;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Hari `Asyuro adalah hari yang mulia, kedudukannya sangat agung. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> keutamaan yangsangat besar.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Imam al-Izz bin Abdus Salam berkata: “Keutamaan waktu dan tempat ada dua bentuk; Bentuk pertama adalah bersifat duniawi dan bentuk kedua adalah bersifat agama. Keutamaan yang bersifat agama adalah kembali pada kemurahan Alloh untuk para hambanya dengan cara melebihkan pahala bagi yang beramal. Seperti keutamaan puasa Romadhon atas seluruh puasa pada bulan yang lain, demikian pula seperti hari `Asyuro. Keutamaan ini kembali pada kemurahan dan kebaikan Alloh bagi para hambanya didalam waktu dan tempat tersebut”. [<i>Qowaid al-Ahkam, </i>al-`Izz bin Abdis Salam 1/38, <i>Fadhlu `Asyuro wa Syahrulloh al-Muharrom,</i> Muhammad as-Sholih hal. 3]. Diantara keutamaan puasa `Asyuro adalah;<o:p></o:p></span><br />
</div><ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial;">Menghapus dosa satu tahun yang lalu</span></b><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Rosululloh bersabda:<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="color: #365f91; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 22pt;">صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ</span></b><span lang="AR-SA" style="color: #365f91; font-family: Arial;"><o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="color: black; font-family: Arial;">Puasa 'Asyuro aku memohon kepada alloh agar dapat menghapus dosa setahun yang lalu.</span></i><span style="color: black; font-family: Arial;"> [HR. Muslim: 1162]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Imam an-Nawawi berkata: "Keutamaannya menghapus semua dosa-dosa kecil. Atau boleh dikatakan menghapus seluruh dosa kecuali dosa besar".<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><ol start="2" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial;">Nabi sangat bersemangat untuk berpuasa pada hari itu<o:p></o:p></span></b></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Ibnu Abbas berkata:<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="color: #365f91; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 22pt;">مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عِلِيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ: يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ<o:p></o:p></span></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="color: black; font-family: Arial;">Aku tidak pernah melihat Nabi benar-benar perhatian dan menyengaja untuk puasa yang ada keutamaannya daripada puasa pada hari ini, hari 'Asyuro dan puasa bulan Ramadhon.</span></i><span style="color: black; font-family: Arial;"> [HR. Bukhori: 2006, Muslim: 1132]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><ol start="3" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial;">Hari dimana Alloh menyelamatkan Bani Isroil<o:p></o:p></span></b></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Ibnu Abbas berkata: "Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa 'Asyuro. Nabi bertanya: "Puasa apa ini?" Mereka menjawab: "Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Alloh telah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Alloh. Dan kami-pun ikut berpuasa". Nabi berkata: "Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian". Akhirnya Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa juga". [HR. Bukhori: 2004, Muslim: 1130]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><ol start="4" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial;">Puasa 'Asyuro dahulu diwajibkan<o:p></o:p></span></b></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Dahulu puasa 'Asyuro diwajibkan sebelum turunnya kewajiban puasa Romadhon. Hal ini menunjukkan keutamaan puasa 'Asyuro pada awal perkaranya.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Ibnu Umar berkata: "Nabi dahulu puasa 'Asyuro dan memerintahkan manusia agar berpuasa pula. Ketika turun kewajiban puasa romadhon, puasa 'Asyuro ditinggalkan". [HR. Bukhori: 1892, Muslim: 1162]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><ol start="5" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="color: black; text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial;">Jatuh pada bulan haram<o:p></o:p></span></b></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Nabi bersabda:<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="color: #365f91; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 22pt;">أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ</span></b><b><span dir="LTR" style="color: #365f91; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 22pt;"><o:p></o:p></span></b><br />
</div><i><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">Puasa yang paling afdhol setelah puasa Romadhon adalah puasa pada Syahrulloh al-Muharrom.</span></i><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;"> [HR. Muslim: 1163]</span><br />
<br />
<span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">Baca Lanjutannya: <a href="http://addimaki.blogspot.com/2009/12/bagaimana-cara-berpuasa-asyuro.html">BAGAIMANA CARA BERPUASA 'ASYURO</a> <br />
</span><br />
Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-37804882416701680222009-12-16T15:38:00.001+07:002009-12-16T15:51:36.718+07:00SEJARAH PUASA ASYUROOleh: Abu Abdillah Syahrul Fatwa as-Salim<br />
<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CABUHUD%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><style>
<!--
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Asyuro adalah hari kesepuluh pada bulan Muharrom (<i>Syarah Shohih Muslim</i> 8/12, <i>Fathul Bari,</i> Ibnu Hajar 4/671, <i>Mukhtashor Shohih Muslim, </i>al-Mundziri hal. 163-Tahqiq al-Albani, <i>al-Mughni</i> 4/441, <i>Subulus Salam,</i> as-Shon`ani 2/671). Dia adalah hari yang mulia menyimpan sejarah yang mendalam, tak bisa dilupakan.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Ibnu Abbas berkata:<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">“Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">oran</st1:place></st1:city>g-orang Yahudi sedang berpuasa `Asyuro. Nabi bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Alloh telah menyelamatkan Bani Isroil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Alloh. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa. [HR. Bukhori: 2004, Muslim: 1130]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Nabi dalam berpuasa `Asyuro mengalami empat fase;[<i>Lathoiful Ma`arif</i> hal.102-107]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Fase pertama:</span></b><span style="color: black; font-family: Arial;"> Beliau berpuasa di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa. `Aisyah menuturkan: “Dahulu <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">oran</st1:place></st1:city>g Quraisy berpuasa `Asyuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi pun berpuasa `Asyuro pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa `Asyuro dan memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah diwajibkan, beliau berkata: “Bagi yang hendak puasa silahkan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa”. [HR. Bukhori: 2002, Muslim: 1125]<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Fase kedua:</span></b><span style="color: black; font-family: Arial;"> Tatkala beliau datang di Madinah dan mengetahui bahwa <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">oran</st1:place></st1:city>g Yahudi puasa `Asyuro, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas dimuka. Bahkan Rosululloh menguatkan perintahnya dan sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa `Asyuro.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Fase ketiga:</span></b><span style="color: black; font-family: Arial;"> Setelah diturunkannya kewajiban puasa Romadhon, beliau tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa `Asyuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah (bahkan para ulama telah sepakat bahwa puasa `Asyuro sekarang hukumnya sunnah tidak wajib. <i>Ijma`at Ibnu Abdil Barr</i> 2/798, Abdulloh Mubarok al-Saif, <i>Shohih Targhib wa Tarhib,</i> al-Albani 1/438, <i>Tuhfatul Ahwadzi,</i> Mubarok Fury 3/524, <i>Aunul Ma`bud,</i> Syaroful Haq Azhim Abadi 7/121) sebagaimana hadits `Aisyah yang telah lalu.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="color: black; font-family: Arial;">Fase keempat:</span></b><span style="color: black; font-family: Arial;"> Pada akhir bayatnya, Nabi bertekat untuk tidak hanya puasa pada hari `Asyuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 `Asyuro agar berbeda dengan puasanya <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">oran</st1:place></st1:city>g Yahudi.<o:p></o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial;">Ibnu Abbas berkata: “Ketika Nabi puasa `Asyuro dan beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> sahabat berkata: “Wahai Rosululloh, hari `Asyuro adalah hari yang diangungkan oleh Yahudi dan Nashoro!! Maka Rosululloh berkata: “Kalau begitu, tahun depan Insya Alloh kita puasa bersama tanggal sembilannya juga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat terlebih dahulu”. [HR. Muslim: 1134]<o:p></o:p></span><br />
</div><br />
Baca Lanjutannya: <a href="http://addimaki.blogspot.com/2009/12/keutamaan-puasa-asyuro.html">KEUTAMAAN PUASA ASYURO</a><br />
Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-77075066095760579982009-12-15T14:28:00.001+07:002009-12-16T15:43:39.087+07:00AMALAN SUNNAH DI BULAN MUHARROMOleh: Abu Abdillah Syahrul Fatwa as-Salim<br />
<br />
Mendapati bulan Muharrom merupakan kenikmatan tersendiri bagi seorang mukmin. Karena bulan ini sarat dengan pahala dan ladang beramal bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan hari esoknya. Memulai awal tahun dengan ketaatan, agar pasti dalam melangkah dan menatap masa depan dengan optimis.Abu Utsman an-Nahdi (lihat biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib 6/249 oleh Ibnu Hajar) megatakan: “Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharrom”. (Lathoiful Ma`arif. hal. 80). Berikut ini amalan-amalan sunnah yang dianjurkan pada bulan ini:<br />
<br />
<b>1. puasa</b><br />
Rosululloh bersabda:<span style="font-size: large;"><br style="color: blue;" /></span><br />
<div style="text-align: center;"><span style="color: blue; font-size: large;"> أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ</span><br />
</div><i>Puasa yang paling afdhol setelah puasa Romadhon adalah puasa pada Syahrulloh al-Muharrom.</i> [HR. Muslim: 1982]<br />
<br />
Hadits ini sangat jelas sekali bahwa puasa sunnah yang paling afdhol setelah Romadhon adalah puasa pada bulan Muharrom. Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Memperbanyak puasa sunnah pada bulan ini, utamanya ketika hari `Asyuro sebagaimana akan datang penjelasannya sebentar lagi. Akan tetapi perlu diingat tidak boleh berpuasa pada seluruh hari bulan Muharrom, karena Rosululloh tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada Romadhon (HR. Bukhori: 1971, Muslim: 1157)saja (syarah Shohih Muslim, an-Nawawi 8/303).<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah puasa yang paling afdhol bagi orang yang hanya berpuasa pada bulan ini saja, sedangkan bagi yang terbiasa berpuasa terus pada bulan lainnya yang afdhol adalah puasa dawud”. [Kitab as-Shiyam Min Syarhil `Umdah, Ibnu Taimiyyah 2/548]<br />
<br />
<b>2. Memperbanyak amalan sholih</b><br />
Sebagaimana perbuatan dosa pada bulan ini akan dibalas dengan dosa yang besar maka begitu pula perbuatan baik. Bagi yang beramal sholih pada bulan ini ia akan menuai pahala yang besar sebagai kasih saying dan kemurahan Alloh kepada para hambanya. [ketahuilah, bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan keutamaan beramal amalan tertentu selain puasa pada bulan Muharrom adalah hadits yang dusta dan dibuat-buat belaka!!. (al-Mauizhoh al-Hasanah Bima Yuhthobu Fi Syuhur as-Sanah, Sidiq Hasan Khon hal. 180, Bida` Wa Akhtho Hal. 226)]<br />
Ini adalah keutamaan yang besar, kebaikan yang banyak, tidak bisa dikiaskan. Sesungguhnya Alloh adalah pemberi nikmat, pemberi keutamaan sesuai kehendakNya dan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menentang hukumNya dan tidak ada yang dapat menolak keutamaanNya. [at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr 19/26, Fathul Bari, Ibnu Hajar 6/5]<br />
<br />
<b>3. Taubat</b><br />
Taubat adalah kembali kepada Alloh dari perkara yang Dia benci secara lahir dan batin menuju kepada perkara yang Dia senangi. Menyesali atas dosa yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Taubat adalah tugas seumur hidup. [lihat hukum-hukum seputar taubat dalam risalah Hady ar-Ruuh Ila Ahkam at-Taubah an-Nasuh, Salim bin Ied al-Hilali]<br />
Maka kewajiban bagi seorang muslim apabila terjatuh dalam dosa dan maksiat untuk segera bertaubat, tidak menunda-nundanya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan menjemput. Dan juga perbuatan jelek biasanya akan mendorong untuk mengerjakan perbuatan jelek yang lain. Apabila berbuat maksiat pada hari dan waktu yang penuh keutamaan, maka dosanya akan besar pula, sesuai dengan keutamaan waktu dan tempatnya. Maka bersegeralah bertaubat kepada Alloh. [lihat Majmu` Fatawa 34/180 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah]<br />
<br />
Baca Lanjutannya: <a href="http://addimaki.blogspot.com/2009/12/sejarah-puasa-asyuro.html">SEJARAH PUASA ASYURO</a>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-59332196303516318322009-12-15T14:15:00.006+07:002009-12-16T14:02:02.849+07:00MUHARRAM BULAN KERAMAT?Oleh: Abu Abdillah Syahrul Fatwa as-Salim<br />
<br />
<br />
Sebagian masyarakat masih meyakini bila bulan Muharrom tiba, maka pertanda telah datang bulan yang penuh keramat. Diantara mereka sampai takut jika menikahkan putrinya pada bulan ini karena sugesti keyakinan tersebut. Perkara ini kelihatannya sepele namun kenyataannya tidak demikian, lantaran sudah masuk dalam wilayah syirik sedangkan syirik adalah dosa yang terbesar. Namun, benarkah bahwa bulan Muharrom bulan keramat? Adakah amalan khusus pada bulan ini? Cermati ulasan berikut. Wallohul Muwaffiq<br />
<br />
<b>BULAN MUHARROM DALAM PANDANGAN ISLAM</b><br />
<br />
Bulan Muharrom atau dalam istilah jawa dikenal dengan nama bulan suro adalah bulan Alloh yang sangat agung. Dia adalah bulan pertama dalam kalender Islam, termasuk bulan-bulan harom. Alloh berfirman:<br />
<br />
<br />
<div style="color: #660000; text-align: center;"><span style="font-size: large;"> إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ<br />
</span><br />
</div><i>Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.</i> (QS.at-Taubah: 36)<br />
<br />
Dari Abu Bakroh dari Nabi Shollallohu `Alaihi Wasallam bahwasanya dia bersabda:<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span style="color: blue; font-size: large;"> السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان</span><br />
</div><i>Satu tahun itu dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan harom. Tiga bulan berturut-turut; Dzul qo`dah, Dzulhijjah dan Muharrom. Satunya lagi adalah bulan Rajab yang terletak antara bulan Jumada Tsani dan Sya`ban.</i> [HR. Bukhori 2958]<br />
<br />
Hasan al-Bashri berkata: “Sesungguhnya Alloh membuka awal tahun dengan bulan harom, dan menutup akhir tahun dengan bulan harom pula. Tidak ada bulan yang lebih agung disisi Alloh setelah Romadhon dibandingkan bulan Muharrom”.[Lathoitul Ma`arif. Ibnu Rojab hal 79]<br />
<br />
Keagungan bulan ini bertambah mulia dengan penyandaran bulan ini kepada Alloh. Nabi menyebutkan bulan Muharrom dengan nama Syahrulloh (bulan Alloh). Rosululloh bersabda:<br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span style="color: blue; font-size: large;"> أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ</span><br />
</div><i> Puasa yang paling afdhol setelah puasa Romadhon adalah puasa pada Syahrulloh al-Muharrom.</i> [ HR. Muslim: 1163]<br />
<br />
Al-Hafizh Ibnu Rojab mengatakan: “Nabi memberi nama Muharrom dengan Syahrulloh. Penyandaran bulan ini kepada Alloh menunjukkan kemuliaan dan keutamaannya. Karena Alloh tidak akan menyandarkan sesuatu kepada dirinya kecuali pada makhluknya yang khusus”. [Lathoiful Ma`arif. Hal. 81]<br />
<br />
Demikianlah kemuliaan dan keagungan bulan Muharrom menurut pandangan Islam. Lantas, atas dasar apakah keyakinan sebagian orang bahwa Muharrom adalah bulan keramat? Ataukah hal ini hanya sebuah khurafat ala jahiliyah yang masih mengurat dalam hati??!<br />
<br />
<br />
Baca Lanjutannya: <a href="http://addimaki.blogspot.com/2009/12/amalan-sunnah-di-bulan-muharrom.html">AMALAN SUNNAH DI BULAN MUHARROM</a>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-91412719879571219662009-12-10T20:39:00.004+07:002009-12-13T13:28:48.689+07:00ADAB BUANG HAJATOleh: Abu Abdillah Al-Atsary<br />
<br />
<br />
Suatu ketika Salman Al-Farisi pernah ditanya oleh seorang musyrik: Apakah benar Nabi kalian mengajarkan perkara-perkara dien ini hingga adab buang hajat? Salman menjawab dengan tegas: Benar! Beliau melarang kita istinja dengan tangan kanan, dan melarang kita untuk menghadap kiblat. Sebuah hadits yang agung menggambarkan betapa sempurnanya agama islam ini, tidak hanya menjelaskan perkara-perkara yang besar dan urgen, namun juga perkara yang sering disepelekan oleh kebanyakan orang yaitu adab buang hajat. Berikut ini kelanjutan dari rantaian adab-adab islam yang coba kami kupas, semoga bermanfaat.. <br />
<br />
<b>ADAB BUANG HAJAT</b><br />
<br />
1. Tidak disembarang tempat<br />
Membung hajat disembarang tempat, tidak hanya mengotori dan mengganggu orang lain namun juga menyebabkan pelakunya mendapat la’nat, Allah berfirman:<br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><span style="color: #4c1130; font-family: Times,"Times New Roman",serif;">وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا</span></span><br />
</div><i>Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan yang nyata.</i> (QS. Al-Ahzab: 58).<br />
Rosulullah bersabda:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">اِتَّقُوْا اْللَّعَانَيْنِ, قَالُوْا: وَمَا اْللَّعَانَانِ يَا رَسُوْلَ الله ِ؟ قَالَ: الَّذِيْ يَتَخَلَّى فِيْ طَرِيْقِ اْلنَّاسِ أَوْ فِيْ ظِلِّهِمْ</span><br />
</div><i>"Takutlah kalian dari dua perkara yang menyebabkan pelakunya mendapat la’nat, para sahabat bertanya: Apa dua perkara itu wahai rosulullah? Rasulullah menjawab: Yaitu orang yang buang hajat ditempat-tempat yang dilalui manusia dan tempat perteduhan mereka"</i>.HR. Muslim(269), Abu Dawud(25), Ahmad(8636).<br />
Berkata Syaroful Haq ‘Adzim Abadi: “Hadits ini menunjukkan haromnya buang hajat di jalan-jalan yang dilalui oleh manusia atau tempat perteduhan mereka, karena orang yang lewat akan merasa jijik dan terganggu dengan najisnya”. (Aunul Ma’bud 1/31). <br />
<br />
2.Larangan kencing pada air yang tenang<br />
Berdasarkan hadits:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">لاَ يَبُوْلَنَّ أََحَدُكُمْ فِيْ اْلمَاءِ اْلَّدَائِمِ الَّذِيْ لاَ يَجْرِى</span><br />
</div><i>Janganlah kalian kencing pada air yang tenang lagi tidak mengalir</i>. (Bukhori 239 dan Muslim 282).<br />
Imam Nawawi berkata: “Jika airnya banyak dan mengalir maka tidaklah diharamkan kencing didalamnya,akan tetapi menjauhinya lebih utama”.(Syarah Shohih Muslim 3/523).<br />
<br />
3. Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah <br />
Yang demikian sebagai bentuk pemuliaan dan penjagaan nama Allah dari penghinaan, karena itu tidaklah layak bagi seorang muslim ketika buang hajat membawa sesuatu yang bertuliskan lafadz Allah, kecuali karena dhorurat. Adapun mushaf Al-qur’an tidak diragukan lagi larangannya untuk dibawa ketika buang hajat, dan inilah pendapat ahlu ‘ilmi.( Lihat Syarah Mumti’ 1/91).<br />
Perhatian: Hadits yang menjelaskan bahwasanya Nabi apabila buang hajat beliau melepas cincinnya yang bertuliskan lafadz Allah, hadits ini adalah dho’if, riwayat Abu Dawud (19), dan dia berkata: “Ini adalah hadits munkar”, Tirmidzi (1746), (47-Syamail), Ibnu Majah (303),Nasa’i (5210), dan dia berkata: “Hadits ini ‘Ghoiru Mahfudz”’ (Syadz-pent),Baihaqi (1/95), Hakim (1/187), Ibnu Hibban (1413), Qurthubi dalam Tafsirnya (10/88), Imam Nawawi berkata: “Hadits ini ditolak keabsahannya!”( At-Talkhis 1/160). Al-Albani berkata: “Apa yang dikatakan Abu Dawud adalah benar, karena jumhur ‘ulama telah mendho’ifkan hadits ini”, lihat Al-Misykah (343), Mukhtasor Syamail Muhammadiyah(75).<br />
<br />
4. Masuk dengan mendahulukan kaki kiri dan berdo’a<br />
Berdasarkan hadits:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ اْلنَّبِيُّ يُعْجِبُهُ اْلتَّيَمُنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَ تَرَجُّلِهِ وَ طُهُوْرِهِ وَ فِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ</span><br />
</div><i>"Dari ‘Aisyah dia berkata: Adalah rosulullah mencintai untuk mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, bersisir, bersuci dan pada perkara mulia lainnya"</i>.HR. Bukhori(168), Ahmad(6/187).<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Telah tetap dalam kaidah syar’i bahwa perbuatan yang didalamnya mungkin untuk dilakukan antara kanan dan kiri, maka hendaklah mendahulukan yang kanan pada perkara-perkara yang baik dan mulia semisal: memakai sandal, masuk masjid, keluar WC dan lainnya, adapun perkara-perkara yang hina dan kotor seperti: masuk WC, keluar masjid, melepas sandal maka hendaklah kaki kiri didahulukan".(Majmu Fatawa 21/109).<br />
Kemudian berdo’a:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ</span><br />
</div><i>Yaa Allah… Aku berlindung kepada-Mu dari gangguan Syaithon laki-laki dan Syaithon perempuan</i>.HR. Bukhori(142), Muslim(375).<br />
Ibnu Batthol berkata: “Do’a ini tidak hanya dibaca pada tempat-tempat buang hajat( semisal kakus, jamban-pent) namun juga pada tempat-tempat lainnya”. (semisal tanah lapang, kebun -pent) . (lihat Subulussalam 1/154).<br />
<br />
5. Larangan menghadap kiblat<br />
Dalam masalah ini ada beberapa hadits yang menjelaskan,<br />
a) Hadits Abu Ayyub Al-Anshori, bahwasanya rosulullah bersabda:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ اْلغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ </span><br />
</div><i>Apabila salah seorang diantara kalian buang hajat, maka janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya!</i> HR. Bukhori(144), Muslim(264).<br />
<br />
2. Dari Jabir Bin Abdullah dia berkata:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">نَهَى اْلنَّبِيُّ أَنْ نَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ بِبَوْلٍ فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا</span><br />
</div><i>Nabi melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, akan tetapi aku melihatnya menghadap kiblat setahun sebelum wafatnya</i>. HR. Tirmidzi(9), Abu Dawud(13), Ibnu Majah(325), Ibnu Khuzaimah (58), Ahmad(5/515), Ibnu Hibban(1320), Ibnu Jarud(31), dihasankan oleh Al-Albani dalam shohih sunan Abu Dawud.<br />
<br />
3. Hadits Abdullah Bin ‘Umar dia berkata:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: إِنَّ نَاسًا يَقُوْلُوْنَ إِذَا قَعَدْتَ عَلىَ حَاجَتِكَ فَلاَ تَسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ وَلاَ بَيْتَ اْلمَقْدِسِ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَرَ : لَقَدْ اِرْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلىَ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَلىَ لَبِيْنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلاً بَيْتَ اْلمَقْدِسِ</span><br />
</div><i>Sesungguhnya manusia berkata; apabila buang hajat janganlah menghadap kiblat atau baitul maqdis, padahal suatu hari aku pernah naik rumah saudara perempuanku(Hafshoh), dan aku melihat rosulullah buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis.</i> HR. Bukhori(145), Muslim(266).<br />
Hadits-hadits diatas nampaknya bertentangan satu sama lain, karena itu para ‘ulama berselisih tajam dalam masalah ini, apakah hukum menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat bersifat mutlak, baik pada bangunan maupun tanah lapang??!. Hadits Abu Ayyub berfaidah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya secara mutlak, sedangkan hadits Jabir menjelaskan bahwa akhir perkara rosulullah menunjukkan bolehnya menghadap kiblat, sementara hadits Abdullah Bin ‘umar menunjukkan bolehnya membelakangi kiblat tidak menghadapnya pada bangunan atau yang semisalnya. Yang benar dalam masalah ini, adalah pendapat jumhur ‘ulama yang mengkompromikan dali-dalil yang ada, bahwa menghadap kiblat dan membelakanginya dilarang pada tanah lapang atau tempat yang tidak ada penutup dan pembatasnya, adapun pada bangunan atau tempat yang ada penutup dan pembatasnya maka dibolehkan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Abbas bin Abdul Mutholib, Abdullah Bin ‘Umar, Sya’bi, Ishaq Bin Rohawaih, Imam Malik dan Syafi’i.(Lihat Syarah Shohih Muslim 2/497). Juga pendapat para ‘Ulama lainnya seperti Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzzab (2/93), Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/323), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/221), As-Shon’ani dalam Subulus Salam (1/162), Syaikh Ibnu Baz dalam fatawanya(10/35), dan Lajnah Daimah (5/95, no.4480). Wallahu ‘Alam.<br />
<br />
6. Menjaga aurot <br />
Berkata Imam Ibnu qudamah: “Disukai untuk menutup aurot ketika buang hajat, jika ia mendapati kebun, rerimbunan, pohon atau lainnya hendaklah ia menutup diri dengannya, jika tidak maka hendaklah ia menjauh hingga tidak dilihat seorangpun”. (Al-Mughni 1/222). <br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ قَالَ: أَرْدَفَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ ذَاتَ يَوْمٍ خَلْفَهُ فَأَسَرَّ إِلَيَّ حَدِيْثًا لاَ أُحَدِّثُ بِهِ أَحَدًا مِنَ اْلنَّاسِ وَ كَانَ أَحَبَّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ لِحَاجَتِهِ هَدَفٌ أَوْ حَائِشُ نَخْلٍ</span><br />
</div><i>Dari ‘Abdullah Bin Ja’far dia berkata: Rosulullah pernah memboncengku pada suatu hari, dan beliau menceritakanku sebuah hadits yang tidak aku ceritakan kepada seorangpun, bahwasanya beliau paling suka untuk menjaga ‘aurot ketika buang hajat dengan pergi ketempat yang tinggi atau yang sepi</i>. HR. Muslim(342), Abu Dawud(2549), Ibnu Majah(340).<br />
Juga berdasarkan hadits:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ اْلمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ اْلنَبِيَّ كَانَ إِذَا ذَهَبَ اْلمَذْهَبَ أَبْعَدَ</span><br />
</div><i>Dari Mughiroh Bin Syu’bah dia berkata: Adalah rosulullah apabila buang hajat, menjauh ketempat yang sepi</i>. HR.Abu Dawud(1), Tirmidzi(20), Ibnu Majah(331), Nasa’i(17), Darimi(666). Al-Albani menghasankannya dalan As-Shohihah (1159).<br />
Imam Nawawi berkata: "Didalam hadits terdapat anjuran untuk menjaga ‘aurat ketika buang hajat, baik di tempat sepi, terlindung atau yang lainnya, yang dapat menutupi dari pandangan orang". (Syarah Shohih Muslim 3/29).<br />
<br />
7. Kencing berdiri?<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ اْلنَّبِيَّ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ , مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَائِدًا</span><br />
</div><i>Dari ‘Aisyah dia berkata: Barang siapa yang menceritakan kalian bahwasanya Nabi kencing berdiri janganlah dipercaya! Tidaklah Nabi kencing kecuali dengan duduk</i>. HR. Tirmidzi(12), Nasa’i(29), Ibnu Majah(307), Ahmad(6/192). Dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah (201).<br />
Hudzaifah Bin Yaman berkata:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اْليَمَانِ قَالَ: كُنْتُ مَعَ اْلنَّبِيِّ فَانْتَهَى إِلىَ سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا</span><br />
</div><i>Aku pernah pergi bersama Nabi, kemudian beliau berhenti pada suatu tempat dan kencing dengan berdiri</i>. HR. Bukhori(226), Muslim(273).<br />
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Yang dzhohir bahwa perbuatan nabi diatas menunjukkan bolehnya hal itu, sekalipun beliau paling sering kencing dengan duduk, adapun perkataan ‘Aisyah hanya sebatas pengetahuannya didalam rumah, yang dia tidak tahu pada selainnya. (Fathul Bari 1/430).<br />
Kesimpulannya: kencing dengan berdiri atau duduk dibolehkan, yang terpenting adalah aman dari percikan air kencingnya. ( lihat As-Shohihah 1/393)<br />
Perhatian: hadits yang berbunyi:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ عُمَرَ قَالَ: رَاّنِيْ اْلنَّبِيُّ وَ أَناَ أَبُوْلُ قَائِمًا, فَقَالَ: يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا! فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ</span><br />
</div><i>Dari Umar dia berkata: Nabi melihatku kencing dengan berdiri maka beliaupun menegurku seraya berkata: Hai ‘Umar janganlah kamu kencing dengan berdiri!</i> HR.Tirmidzi(12), Ibnu Majah(308), Ibnu Hibban(135), Baihaqi(1/102). Ini adalah hadits yang dho’if, didho’ifkan oleh Tirmidzi dalam sunannya(12), Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah (934).<br />
<br />
8. Larangan menggunakan tangan kanan<br />
Imam Ibnu Qoyyim berkata: "Adalah Nabi Istinja dan Istijmar dengan tangan kirinya".(Zaadul Ma’ad 1/166).<br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><span style="color: purple;">عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ اْلنَّبِيِّ قَالَ: إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَسْتَنْجِيْ بِيَمِيْنِهِ</span></span> <br />
</div><i>Dari Abu Qotadah dari bapaknya bahwasanya rosulullah bersabda: Apabila salah seorang diatara kalian kencing maka janganlah ia memegang kemaluannya dan beristinja dengan tangan kanannya</i>. HR. Bukhori(154), Muslim(267).<br />
Imam Nawawi berkata: "‘Ulama bersepakat atas haramnya beristinja dengan tangan kanan". (Syarah Shohih Muslim 2/498). <br />
<br />
9. Istinja<br />
Istinja adalah bersuci dengan menggunakan air, batu atau yang lainnya. hal ini wajib dilakukan untuk mensucikan segala sesuatu yang keluar dari dua jalan(seperti air kencing, berak, madzi-pent).Lihat Al-Mughni 1/206, Majmu’ Syarah Muhadzzab 2/110. Adapun dalil istinja dengan air, berdasarkan hadits:<br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><span style="color: purple;">عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَقُوْلُ: كَانَ اْلنَّبِيُّ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِيْءُ أَناَ وَ غُلاَمٌ مَعَناَ إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ</span></span><br />
</div><br />
<i>Dari Anas Bin Malik dia berkata: Adalah Nabi apabila hendak buang hajat, maka aku dan seorang anak sebayaku membawakan seember air untuknya</i>.HR. Bukhori(150).<br />
Imam Asy-Saukani berkata: "Hadits ini menunjukkan tetapnya istinja dengan air" (Nailul Author 1/96, lihat pula Al-Mugni 1/208).<br />
<br />
10. Istijmar<br />
Termasuk keindahan agama islam, bahwasanya agama ini datang dengan membawa kemudahan dan menghilangkan kesukaran, Allah berfirman:<br />
<div style="text-align: center;"><span style="color: purple; font-size: large;">يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ</span><br />
</div><i>Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu</i>.<br />
QS. Al-Baqoroh: 185.<br />
Diantara kemudahan tersebut adalah bolehnya bersuci dengan menggunakan air, batu,daun atau selainnya. Adapun Istijmar adalah bersuci dengan menggunakan batu. Orang yang akan beristijmar hendaklah ia menjauhi tulang dan kotoran, berdasarkan hadits:<br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><span style="color: purple;">عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: اِتَّبَعْتُ اْلنَّبِيَّ وَ خَرَجَ لِحَاجَتِهِ فَكَانَ لاَ يَلْتَفِتُ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَقَالَ: اِبْغِنِيْ أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضُ بِهَا وَ لا َتَأْتِنِيْ بِعَظَمٍ وَ لاَ رَوْثٍ فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍبِطَرْفِ ثِيَابِيْ فَوَضَعْتُهَا إِلىَ جَنْبِهِ وَ أَعْرَضْتُ عَنْهُ فَلَمَّا قَضَى أَتْبَعَهُ بِهِنَّ</span></span> <br />
</div><i>Dari Abu Hurairoh dia berkata: Suatu ketika aku pernah berjalan dibelakang Rosulullah tatkala ia hendak buang hajat, maka beliaupun berkata: Carikanlah untukku beberapa batu yang aku dapat bersuci dengannya! Dan janganlah engkau memberiku tulang atau kotoran, maka akupun memberinya beberapa batu dengan ujung bajuku, yang aku letakkan disisinya, tatkala aku berpaling maka rosulullahpun memakai batu-batu tersebut</i>. HR. bukhori(155).<br />
<br />
10. Sunnahnya istijmar dengan bilangan ganjil<br />
Berdasarkan hadits:<br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><span style="color: purple;">عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنْ اْلنَّبِيِّ قَالَ: إِذَا اسْتَجْمَرَ أََحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ وِتْرًا</span></span> <br />
</div><i>Dari Abu Hurairoh bahwasanya rosulullah bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian istijmar maka istijmarlah dengan bilangan yang ganjil”</i>.HR. Bukhori(161), Muslim(237),dan ini lafadznya. Dan hendaklah bilangan tersebut tidak kurang dari tiga, berdasarkan hadits:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قِيْلَ لَهُ : قَدْ عَلَّمَكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى اْلخِرَاءَةَ قَالَ: أَجَلْ! لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ اَنْ نَسْتَنْجِيَ بِاْليَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ</span><br />
</div><i>Dari Salman bahwasanya dia ditanya seorang musyrik: “Apakah Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu hingga adab buang hajat?” Salman menjawab: “Ya! Sungguh beliau melarang kami ketika buang hajat untuk menghadap kiblat, istinja dengan tangan kanan, istinja kurang dari tiga batu, istinja dengan kotoran atau tulang”</i>.HR. Muslim(262), Tirmidzi(16), Abu Dawud(7), Ibnu Majah(316).<br />
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Berdasarkan hadits ini Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ahli hadits mensyaratkan bahwa istijmar tidak boleh kurang dari tiga, dengan tetap menjaga kebersihannya, bila kurang bersih boleh lebih dari tiga dan disunnahkan ganjil.(Fathul Bari 1/336 lihat pula Al-mughni 1/209, Majmu’Syarah Muhadzzab 2/120 Tuhfatul Ahwadzi 1/67). <br />
<br />
11. Dibencinya berbicara ketika buang hajat<br />
Berdasarkan hadits:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ عَبْدِ الله ِبْنِ عُمَرَ أََنَّ رَجُلا ًمَرَّ وَ رَسُوْلُ اللهِ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ , فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ</span><br />
</div><i>Dari Abdullah Bin ‘Umar dia berkata: Adalah seorang laki-laki memberi salam kepada Rosulullah tatkala beliau kencing, maka beliaupun tidak menjawabnya. </i>HR. Muslim(370), Abu Dawud(16), Tirmidzi(90), Nasa’i(37), Ibnu Majah(353), Lihat Al-Irwa(54). Berkata Imam Nawawi: “Didalam hadits ini terdapat faidah bahwasanya seorang muslim yang sedang buang hajat tidak wajib menjawab salam, dan faidah yang lain adalah dibencinya berbicara ketika buang hajat terkecuali ketika terpaksa”.(Syarah Shohih Muslim 3/51).<br />
<br />
12. Do’a keluar WC<br />
Ketika selesai buang hajat, hendaklah keluar dengan mendahulukan kaki kanan seraya berdo’a:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">غُفْرَانَكَ</span><br />
</div><i>Yaa… Allah aku mohon ampunan-Mu.</i> HR.Tirmidzi(7), Abu Dawud(30), Ibnu Majah(300), Ahmad(24694), Ibnu Sunni dalam Amal Yaum Wa Lailah (23), Hakim (1/158), Baihaqi(1/97), di shohihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa(52). <br />
Demikianlah pembahasan kali ini, semoga Allah menjadikannya ikhlas mengharap wajah-Nya dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Wallahu ‘Alam<br />
<br />
<br />
Baca juga yang ini: <a href="http://addimaki.blogspot.com/2009/12/larangan-isbal.html">Larangan Isbal</a>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-44863764229925769692009-12-09T03:16:00.001+07:002009-12-09T03:21:25.565+07:00LARANGAN ISBALOleh: Abu Abdillah Ibnu Luqman <br />
<br />
Isbal artinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki, dan hal ini terlarang secara tegas baik karena sombong maupun tidak. Larangan isbal bagi laki-laki telah dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah yang sangat banyak, maka selayaknya bagi seorang muslim yang telah ridho Islam sebagai agamanya untuk menjauhi hal ini. Namun ada sebagian kalangan dari orang yang dianggap berilmu menolak isbal dengan alasan yang rapuh seperti klaim mereka kalau tidak sombong maka dibolehkan?!. Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan perkara yang sebenarnya tentang isbal agar menjadi pelita bagi orang yang mencari kebenaran. Amiin. Wallohu Musta’an<br />
<span class="fullpost"><br />
<b>A. DEFINISI ISBAL</b><br />
Isbal secara bahasa adalah masdar dari <span style="font-size: large;"><span style="color: blue;">أَسْبَلَ يُسْبِلُ إِسْبَالاً</span></span> yang bermakna <span style="font-size: large;"><span style="color: blue;">إِرْخاَءً</span></span> yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul A’roby dan selainnya adalah; memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak.(Lihat Lisanul ‘Arob 11/321 Oleh Ibnul Manzhur, Nihayah Fi Ghoribil Hadits 2/339 Oleh Ibnul Atsir).<br />
<br />
<b>B. BATAS PAKAIAN MUSLIM</b><br />
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah meneladani Rasululloh dalam segala perkara, termasuk dalam masalah pakaian. Rasululloh telah memberikan batas-batas syar’i terhadap pakaian seorang muslim, perhatikan hadits-hadits berikut:<br />
Rasulullah bersabda:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنِ الْعَلاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنِ الْإِزَار َقَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ</span><br />
</div><i>“Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga diatas mata kaki, dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka, barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya”</i>.(HR. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12, Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al- Misykah 4331).<br />
Berkata Syaroful Haq Azhim Abadi: “Hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah hendaklah sarung seorang muslim hingga setengah betis, dan dibolehkan turun dari itu hingga diatas mata kaki, apasaja yang dibawah mata kaki maka hal itu terlarang dan harom”.(‘Aunul Ma’bud 11/103).<br />
<br />
Dari Hudzaifah beliau berkata:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ بِعَضَلَةَ سَاقِيْ, فَقاَلَ: هَذاَ مَوْضِعُ اْلإِزَارِ, فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ, فَإِنْ أَبَيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِزَارِ فِيْمَا دُوْنَ اْلكَعْبَيْنِ</span><br />
</div><i>“Rasulullah memegang otot betisku lalu bersabda: “Ini merupakan batas bawah kain sarung, jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi, jika engkau masih enggan juga maka tidak ada hak bagi sarung pada mata kaki”</i>.(HR.Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 1765).<br />
<br />
Hadits-hadits diatas mengisyaratkan bahwa panjang pakaian seorang muslim tidaklah melebihi kedua mata kaki dan yang paling utama hingga setengah betis, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasululloh dalam haditsnya yang banyak.<br />
Dari Abi Juhaifah berkata: <br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">رَأَيْتُ اْلنَّبِيَّ وَ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلىَ بَرِيْقِ سَاقَيْهِ</span><br />
</div><i>“Aku melihat Nabi keluar dengan memakai Hullah Hamro (seakan-akan saya melihat betisnya yang sangat putih”</i>.(HR.Bukhori dalam mukhtasornya 211, Muslim 503, Tirmidzi dalam sunannya 197, dalam Syamail Muhammadiyah 52, Ahmad 4/308).<br />
<br />
‘Ubaid bin Kholid berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah tiba-tiba ada seorang dibelakangku sambil berkata: “Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan”, ternyata dia adalah Rasulullah, aku pun bertanya kepadanya: “Wahai Rasululloh ini Burdah Malhaa(pakaian yang mahal), Rasulullah menjawab: “Tidakkah pada diriku terdapat teladan?” Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”(HR.Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishohihkan oleh Al-albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyyah hal.69).<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki, beliau menjawab: “Panjangnya Qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah tidak melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi”. (Majmu’ Fatawa 22/144)<br />
<br />
<b>Isbal Bagi Wanita??</b><br />
Batas pakaian diatas tidak berlaku bagi wanita, bahkan mereka diperintahkan untuk menutup seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan. Berdasarkan hadits:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فَقاَلَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ قَالَ يُرْخِيْنَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قاَلَ فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ</span><br />
</div><i>Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rosulullah bersabda: “Barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”, Ummu Salamah bertanya: “Jika demikian apa yang harus diperbuat oleh para wanita dengan pakaian-pakaian mereka?”, Nabi menjawab: “Turunkan sejengkal!” Ummu Salamah bertanya kembali: “Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan terlihat!” Nabi bersabda:”Turunkan sehasta jangan lebih dari itu!”</i>. (HR. Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmdzi 2785, Ibnu Majah 1904).<br />
<br />
Al-Hafizh Ibnu Hajar Berkata: “Walhasil ada dua keadaan bagi laki-laki; dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengah betis, boleh yaitu hingga diatas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan; dianjurkan yaitu menurunkan dibawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan hingga sehasta”.(Fathul Bari 11/431). <br />
<br />
<b>C. DALIL-DALIL HAROMNYA ISBAL</b><br />
Pertama:<br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><span style="color: purple;">عَنْ أَبِيْ ذَرِّ عَنِ اْلنَّبِيِّ قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَ لاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَ لاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاَثَ مِرَاراً قَالَ أَبُوْ ذَرِّ خَابُوْا وَخَسِرُوْا مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اْلمُسْبِلُ وَاْلَمنَّانُ وَاْلمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ اْلكَاذِبِ</span></span> <br />
</div><i>Dari Abu Dzar bahwasanya Rasululloh bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”</i>. (HR. Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa’I 4455, Dharimy 2608, Lihat Al-Irwa’: 900).<br />
<br />
Kedua:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ</span><br />
</div><i>Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasululloh bersabda: “Barang siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”</i>. (HR.Bukhari 5783, Muslim 2085).<br />
Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Alloh pada hari kiamat, tidak disucikanNya, dan baginya adzab yang pedih”.(Manahi Asy-Syar’iah 3/206).<br />
<br />
Ketiga:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عن النبي قَالَ: مَا أَسْفَلَ مِنَ اْلكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ اْلنَّارِ</span><br />
</div><i>Dari Abu Hurairoh bahwasanya Nabi bersabda: “Apa saja yang dibawah kedua mata kaki didalam neraka”</i>. (HR.Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96).<br />
<br />
Keempat:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنِ اْلمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : يَا سُفْيَانُ بْنَ سَهْلٍ لاَ تُسْبِلْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ اْلمُسْبِلِيْنَ</span><br />
</div><i>Dari Mugiroh bin Su’bah adalah Rosulullah bersabda:”Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal”</i>. (HR. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/246, Thobroni dalm Al-Kabir 7909, dishohihkan Oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 2862).<br />
<br />
Kelima:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ اْلإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ اْلمَخِيْلَةِ وَاللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لاَ يُحِبُّ اْلمَخِيْلَةَ</span><br />
</div><i>“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan “</i>. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan Oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770). <br />
<br />
Keenam :<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ مَرَرْتُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَ فِيْ إِزَارِيْ اِسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللهِ اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ اْلقَوْمِ إلىَ أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافُ السَّاقَيْنِ</span> <br />
</div><i>Dari Ibnu Umar berkata: “Saya lewat di hadapan Rosulullah sedangkan sarungku terjurai, kemudian Rosulullah menegurku seraya berkata: “Wahai Abdullah tinggikan sarungmu!” aku pun meniggikannya, beliau bersabda lagi: “Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya: “Seberapa tingginya?” “Sampai setengah betis”</i>. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).<br />
Berkata Syaikh Al-Albani: “Hadits ini sangat jelas sekali bahwa kewajiban seorang muslim hendaklah tidak menjulurkan pakaiannya hingga melebihi kedua mata kaki bahkan hendaklah ia meninggikannya hingga diatas mata kaki, walaupun dia tidak bertujuan sombong!, dan didalam hadits ini terdapat bantahan kepada orang-orang yang isbal dengan sangkaan bahwa mereka tidak melakukannya karena sombong! tidakkah mereka meninggalkan hal ini demi mencontoh perintah Rasulullah terhadap Ibnu Umar??, ataukah mereka merasa hatinya lebih suci dari Ibnu Umar?”. (As-Shohihah: 4/95). <br />
<br />
Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid: “Dan hadits-hadits tentang pelarangan isbal mencapai derajat Mutawatir Makna, tercantum dalam kitab-kitab shohih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, diriwayatkan banyak sekali oleh sekelompok para shahabat-kemudian beliau menyebutkan nama-nama shahabat tersebut hingga dua puluh satu orang- seluruh hadits tersebut menunjukkan larangan yang sangat tegas, larangan pengharaman, karena didalamnya terdapat ancaman yang sangat keras, dan telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang terdapat ancaman atau kemurkaan maka diharomkan termasuk dosa besar, tidak bisa dihapus dan diangkat hukumnya bahkan termasuk hukum-hukum syar’I yang kekal pengharamannya”.(Hadd Tsaub Wal Uzroh Wa Tahrim Isbal Wa Libas Syuhroh hal.19).<br />
<br />
<b>D. DAMPAK NEGATIF DALAM ISBAL</b><br />
Isbal keharomannya telah jelas, bahkan didalam isbal terdapat beberapa kemungkaran yang tidak bisa dianggap remeh, berikut sebagiannya:<br />
<div style="background-color: black; color: #741b47;">1.Menyelisihi sunnah<br />
</div>Menyelisihi sunnah perkara yang tidak bisa dianggap enteng dan ringan, karena kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi Dien dalam segala perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau sunnah. Alloh berfirman:<br />
<div style="color: blue; text-align: center;"><span style="font-size: large;"><span style="color: #4c1130;">فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم</span> </span><br />
</div><i>Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul, takut akan di timpa cobaan (fitnah) atau di timpah adzab yang pedih. </i>(QS.An-Nur 63).<br />
<br />
<div style="background-color: black; color: #741b47;">2.Mendapat ancaman neraka<br />
</div>Berdasarkan hadits yang sangat banyak berisi ancaman neraka (berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Nash-nash yang berisi ancaman neraka bersifat umum, maka tidaklah boleh kita memastikan seseorang secara mu`ayyan (tunjuk hidung) bahwa ia termasuk penghuni neraka, karena bisa jadi ada beberapa penghalang yang memalingkannya untuk tidak mendapatkan tuntutan tersebut (neraka) seperti bertaubat atau ia mengerjakan kebaikan yang menghapus dosa atau mendapat syafa`at dan lainnya". [<i>Majmu` Fatawa</i> 4/484]) bagi yang melabuhkan pakaiannnya, baik karena sombong ataupun tidak, kami tambahkan satu hadits disini, Rasulullah bersabda:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">كُلُّ شَيْءٍ جَاوَزَ اْلكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ اْلناَّرِ</span><br />
</div><i>“Segala sesuatu yang melebihi mata kaki didalam neraka”</i>.(HR.Thobroni dalam Al-Kabir 11878, dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 2037).<br />
<br />
<div style="background-color: black; color: #741b47;">3.Termasuk kesombongan<br />
</div>Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar: “Kesimpulannya isbal melazimkan menarik pakaian, dan menarik pakaian melazimkan kesombongan, walaupun pelakunya tidak bermaksud sombong”. (Fathul Bari 11/437). Rasulullah bersabda :<br />
<i>“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan “</i>. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan Oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770).<br />
Berkata Ibnul ‘Aroby: “Tidak boleh bagi laki-laki untuk memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia mengatakan “Aku tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadits secara lafazh mencakup pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup dalam larangan kemudian berkata : ”Aku tidak mau melaksanakannya karena sebab larangan tersebut tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri menunujukkan kesombongannya”.(Fathul Bari 10/325).<br />
<br />
<div style="background-color: black; color: #741b47;">4.Menyerupai wanita<br />
</div>Isbal bagi wanita disyari’atkan bahkan wajib, dan mereka tidak diperkenankan untuk menampakkan anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Orang yang isbal berarti mereka telah menyerupai wanita dalam berpakaian, dan hal itu terlarang secara tegas, berdasarkan hadits:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ اْلمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَ اْلمُتَشَبِّهَاتِ مِن َالنِّسَاءِ بِالرِّجَالِ</span><br />
</div><i>Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”</i>.(HR.Bukhori 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904).<br />
Imam At-Thobari berkata: “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita didalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka, demikian pula sebaliknya”.(Fathul Bari 11/521).<br />
<br />
Dari Khorsyah bin Hirr berkata: “Aku melihat Umar bin Khotob, kemudian ada seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya lewat dihadapannya. Maka Umar menegurnya seraya berkata: “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda tersebut menjawab: “Wahai Amirul Mukminin apakah laki-laki itu mengalami haidh?” Umar menjawab: “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati mata kaki?” kemudian Umar minta diambilkan gunting lalu memotong bagian sarung yang melebihi kedua mata kakinya”. Khorsyah berkata: “Seakan-akan aku meluhat benang-benang diujung sarung itu”.(HR.Ibnu Abi Syaibah 8/393 dengan sanad yang shohih, lihat Al-Isbal Lighoiril Khuyala’ hal.18).<br />
<br />
Akan tetapi Laa Haula Wala Quwwata Illa Billah zaman sekarang yang katanya modern, patokan berpakaian terbalik, yang laki-laki melabuhkan pakaiannya menyerupai wanita dan tidak terlihat darinya kecuali wajah dan telapak tangan! Yang wanita menbuka pakaiannya hingga telihat dua betisnya bahkan lebih dari itu, yang lebih tragis lagi terlontar cemoohan dan ejekan kepada laki-laki yang memndekkan pakaiannya karena mencontoh Nabi dan para shahabat, manusia zaman sekarang memang aneh mereka mencela dan mengejek para wanita yang memanjangkan jilbabnya karena taat kepada Alloh dan Rasulnya, akhirnya kepada Alloh kita mengadu.(Al-Isbal Lighoiril Khuyala hal.18).<br />
<br />
<div style="background-color: black; color: #741b47;">5.Berlebih-lebihan<br />
</div>Tidak ragu lagi syari’at yang mulia ini telah memberikan batas-batas berpakaian, maka barangsiapa yang melebihi batasnya sungguh ia telah berlebih-lebihan. Alloh berfirman:<br />
<br />
<i>Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.</i>(QS.Al-A’rof 31).<br />
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Apabila pakaian melebihi batas semestinya, maka larangannya dari segi isrof(berlebih-lebihan) yang berakhir pada keharaman”.(Fathul Bari 11/436).<br />
<br />
<div style="background-color: black; color: #741b47;">6.Terkena najis<br />
</div>Orang yang isbal tidak aman dari najis, bahkan kemungkinan besar najis menempel dan mengenai sarungnya tanpa ia sadari. Rasulullah bersabda:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى-أَنْقَى<i>-</i></span> <br />
</div><i>“Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketakwaan-dalam lafazh yang lain lebih suci dan bersih-“</i>.(HR.Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishohihkan oleh Al-albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyyah hal.69). <br />
<br />
<b>F. SYUBHAT DAN JAWABANNYA</b><br />
Orang-orang yang membolehkan isbal mereka melontarkan syubhat yang cukup banyak, diantara yang sering muncul ke permukaan adalah klaim mereka bahwa isbal jika tidak sombong dibolehkan!?. Oleh karena itu penulis perlu menjawab dalil-dalil yang biasa mereka gunakan untuk membolehkan isbal jika tidak bermaksud sombong :<br />
<br />
<u>Pertama</u> hadits Ibnu Umar:<br />
<div style="color: purple; text-align: center;"><span style="font-size: large;">عَنِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَحَدَ شَقَيْ إِزاَرِيْ يَسْتَرْخِيْ إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ, فَقاَلَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ خُيَلاَءَ</span><br />
</div><i>Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rosulullah bersabda: “Barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat!”. Abu Bakar bertanya: “Ya, Rosulullah sarungku sering melorot kecuali bila aku menjaganya!” Rosulullah menjawab: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong”</i>. (HR. Bukhari 5784).<br />
Mereka berdalil dengan sabda Rosululloh: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong” bahwasanya isbal bila tidak sombong dibolehkan!?<br />
<br />
<span style="color: #666666;">Jawaban</span>:<br />
Berkata Syaikh Al-Albani: “Dan termasuk perkara yang aneh ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang islam mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkataan Abu Bakar ini, maka aku katakan bahwa hadits diatas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbedaannya sangat jelas bagaikan matahari disiang bolong dengan apa yang terjadi pada diri Abu bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita mohon kepada Alloh keselamatan dari hawa nafsu”.(As-Shohihah 6/401). Kemudian Syaikh berkata dalam tempat yang lain: “Dalam hadits riwayat muslim Ibnu Umar pernah lewat dihadapan Rasulullah sedangkan sarungnya melorot, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata: “Wahai Abdulloh naikkan sarungmu!” Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk shahabat yang mulia dan utama Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut bukankah hal ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?”(Mukhtashor Syamail Muhammadiyyah hal.11). Alloh berfirman:<br />
<div style="color: #4c1130; text-align: center;"><span style="font-size: large;">إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ</span><br />
</div><i>“Sesungguhnya pada yang demikian ini benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau yang mengunakan pendengaranya, sedang dia menyaksikanya”.</i> (QS.Qoof 37). <br />
Syaikh Ibnu “Utsaimin berkata: “Dan adapun orang yang berhujjah dengan hadits Abu Bakar maka kita jawab dari dua sisi: Yang pertama: Bahwa salah satu sisi sarung Abu Bakar kadang melorot tanpa disengaja, maka beliau tidak menurunkan sarungnya atas kehendak dirinya dan ia selalu berusaha untuk menjaganya. Sedangkan orang yang mengklaim bahwa dirinya isbal karena tidak sombong mereka menurunkan pakaiannya karena kehendak mereka sendiri, oleh karena itu kita katakan kepada mereka : “Jika kalian menurunkan pakaian kalian dibawah mata kaki tanpa niat sombong maka kalian akan diadzab dengan apa yang turun dibawah mata kaki dengan neraka, jika kalian menurunkan pakaian karena sombong maka kalian diadzab dengan siksa yang lebih pedih yaitu Alloh tidak akan berbicara kepada kalian, tidak dilihat olehNya, tidak disucikan oleh Nya dan bagi kalian adzab yang pedih. Yang kedua: “Abu Bakar mendapat rekomendasi dan tazkiah dari Nabi bahwa ia bukan termasuk orang yang sombong, maka apakah kalian juga mendapat tazkiah dan rekomendasi yang serupa?”(Fatawa ‘Ulama Balad Harom hal.1140).<br />
<br />
“Maka ambillah hal itu untuk menjadi pelajaran, hai orang yang mempunyai pandangan” (Al-Hasr 2)<br />
<br />
<u>Kedua</u>: Mereka yang membolehkan isbal jika tidak sombong menyangka bahwa hadits-hadits larangan<br />
isbal yang bersifat mutlak, harus di taqyid ke dalil-dalil yang menyebutkan lafadz khuyala’(sombong)<br />
sesuai kaidah ushul fiqh <i>Hamlul mutlak a’lal muqoyyad wajib</i> (membawa nash yang mutlak ke muqoyyad<br />
adalah wajib).<br />
<br />
<span style="color: #666666;">Jawaban:</span> <br />
Kita katakan kepada mereka:<br />
<br />
<i>“Itulah sejauh-jauhnya pengetauhan mereka”</i>.(QS.An-Najm 3).<br />
Kemudian kaidah ushul <i>Hamlul Muthlaq alal muqoyyad</i> adalah kaidah yang telah disepakati dengan syarat-syarat tertentu, untuk lebih jelasnya mari kita simak perkataan ahlu ‘ilmi dalam masalah ini.<br />
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikanya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong maka hukumannya disiksa dengan neraka apa yang turun melebihi mata kaki, berdasarkan hadits:<br />
<br />
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasululloh bersabda:<i> “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. Juga sabdanya: “Barang siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”.</i> Adapun yang isbal karena tidak sombong maka hukumannya sebagaimana dalam hadits: <i>“Apa saja yang dibawah kedua mata kaki didalam neraka”</i>. Dan Rasulullah tidak mentaqyidnya dengan sombong atau tidak, maka tidak boleh mentaqyid hadits ini berdasarkan hadits yang lalu, juga Abu Sa’id Al-Khudzri telah berkata bahwasanya Rasulullah bersabda: “Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga diatas mata kaki, dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka, barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya”. Didalam hadits ini Nabi menyebutkan dua permisalan dalam satu hadits, dan ia menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya, keduanya berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hukum dan balasan. Maka selama hukum dan sebabnya berbeda tidaklah boleh membawa yang muthlak ke muqoyyad, karena kaidah Membawa muthlak ke muqoyyad diantara syaratnya adalah bersatunya dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda maka tidaklah ditaqyid salah satu keduanya dengan yang lain, oleh karena itu ayat tayamum yang berbunyi <i>Basuhlah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu</i> tidak ditaqyid dengan ayat wudhu’ <i>Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku</i> maka tayamum itu tidak sampai siku, karena mengharuskan perlawanan”.(As’ilah Muhimmah hal.29-30, lihat pula Fatawa Syaikh ‘Utsaimin 2/921, Isbal Lighoril Khuyala’ hal.26).<br />
Kesimpulannya; Kaidah “Membawa nash yang mutlaq ke muqoyyad wajib” adalah kaidah yang telah muttafaq alaihi (disepakati) pada keadan bersatunya hukum dan sebab, maka tidaklah boleh membawa nash yang muthlaq ke muqoyad apabila hukum dan sebabnya berbeda, atau hukumnya berbeda dan sebabnya bersatu! (Lihat <i>Ushul Fiqh Al-Islamy</i> 1/217 karya Dr.Wahbah Az-Zuhaili). (Untuk lebih memahami masalah ini silahkan merujuk kitab-kitab Ushul Fiqh seperti <i>Syarah Luma`</i> 1/417, <i>Kasyful Asror</i> 2/287 karya Imam Bukhori, <i>Taisir Ushul</i> hal.92-94 oleh Hafizh Syana`ulloh az-Zahidi, <i>Syarah al-Ushul Min `Ilmil Ushul</i> hal.329)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;"></span> <br />
<br />
<b>G. Kesimpulan</b><br />
Dari pembahasan dimuka dapat disimpulkan:<br />
1.Isbal adalah memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki baik karena sombong maupun tidak, dan hal ini harom dilakukan bagi laki-laki.<br />
2.Batas pakaian seorang laki-laki ialah setengah betis, dan dibolehkan hingga diatas mata kaki, tidak lebih.<br />
3.Hukum isbal tidak berlaku bagi wanita, bahkan mereka disyari’atkan menurunkan pakaiannya hingga sejengkal dibawah mata kaki.<br />
4.Isbal pakaian tidak hanya pada sarung, berlaku bagi setiap jenis pakaian berupa celana, gamis, jubah, sorban dan segala sesuatu yang menjulur ke bawah..<br />
5. Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Alloh pada hari kiamat, tidak disucikanNya, dan baginya adzab yang pedih.<br />
6.Isbal jika tidak sombong maka baginya adzab neraka apa yang turun dibawah mata kaki.<br />
7.Isbal memiliki beberapa kemungkaran, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.<br />
8.Klaim sebagian orang yang melakukan isbal dengan alasan tidak sombong merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Maka bagi mereka kami sarankan untuk memperdalam ilmu dan merujuk kalam ‘ulama dalam masalah ini.<br />
Demikian yang bisa kami sajikan tentang masalah isbal semoga tulisan ini ikhlas karena mengharap wajahNya dan bermanfaat bagi diri penulis serta kaum muslimin dimanapun berada. Amiin. Wallohu ‘Alam.</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-35196287581223700222009-11-14T02:45:00.003+07:002009-12-01T02:17:07.426+07:00SHOLAT AL-ARBA`IN SHOHIHKAH ??Merupakan sebuah kesalahan apabila kita melakukan sebuah ibadah tanpa kita mengetahui apa landasan atau hujjah yang shohih yang dapat membenarkan atau menguatkan ibadah tersebut, diantara kesalahan tersebut adalah banyak diantara jamaah haji kita (indonesia) bersemangat untuk mendapatkan pahala yang banyak dan berlipat ganda salah satu diantaranya dengan melakukan sholat empat puluh kali (arbain) dimasjid nabawi, shohihkah sholat tersebut ?? Dan bagaimanakah permasalahan yang sebenarnya ?? Lebih lengkapnya simak ulasan berikut oleh ustadz kami<br />
<br />
<b>Abu Nu’aim Al-Atsari</b><br />
<br />
Semua jama’ah haji Indonesia tentu mengenal shalat Arba’in. Dan kebanyakannya mungkin pernah menunaikannya. Bahkan demi mendapatkan shalat ini secara berjama’ah mereka rela terbangun malam, tergopoh-gopoh dan berebut mendatangi masjid Nabawi. Sebabnya, menurut persangkaan mereka bahwa hadits yang menjadi dasar amalan tersebut shahih. Bagaimana tidak, hadits tersebut termuat dalam beberapa kitab dan megnisyaratkan (bahkan sebagiannya) keshahihannya. Misalnya dalan kitab Fiqih Islami wa Adilatuha karya Dr Wahbah Zahaili, Jilid 3 hal. 334, setelah mencantumkannya dia berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Ausath dari Anas bin Malik, tidak ada yang meriwayatkan dari Anas bin Malik selain Nubaith dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Ibnu Abi Ar-Rijal”. Kemudian dalam kitab Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakar Jabid Aljazairi hal. 336 dan juga kitab Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq 2/320 cet Darul Fath Lii’lamil Arabi dengan berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dengan sanad shahih!”<br />
<br />
Untuk mengetahui permasalahan sebenarnya berikut ulasannya.<span class="fullpost">Dari Anas bin Malik, berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda:<br />
<br />
“Artinya : Barangsiapa melakukan shalat empat puluh shalat di masjidku ini, tidak ketinggalan satu shalatpun maka akan ditulis baginya ; terbebas dari siksa api neraka, tidak diadzab dan terlepas dari kenifakan”.<br />
<br />
Derajat hadits “Mungkar”.<br />
<br />
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 3/155, Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath 5576 dari jalan Abdurrahman bin Abi Ar-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik secara marfu’. Thabrani berkata : “Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith dan Abdurrahman bin Abi Ar-Rijal bersendiri dalam meriwayatkan dari Nubaith.<br />
<br />
Sanad hadits ini dha’if, Nubaith ini tidak dikenal kecuali pada hadits ini saja [2]. Tetapi Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitabnya Ats-Tsiqoot 5/483 sesuai dengan kaidahnya, mentautsiq orang-orang yang majhul. Inilah sandaran Al-Haitsami dalam ucapannya di Majma Zawa’id 4/8m, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Al-Ausath dan para perawinya tsiqot (terpercaya)[3].<br />
<br />
Dalam As-Shahihah 2652 Al-Albani berkata :<br />
<br />
“Nubaith ini majhul, hadits dengan redaksi ini mungkar [4] sebab Nubaith bersendiri dengan redaksi ini dan menyelisihi para perawi lain yang meriwayatkan dari Anas juga dan ini nampak jelas. Adapun perkataan Al-Mundziri dalam At-Targhib 2/136, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah perawi kitab Shahih (Bukhari dan Muslim, -pent), diriwayatkan pula oleh Thabrani dalam Al-Ausath”, adalah kesalahan yang jelas, sebab Nubaith ini tidak termasuk perawi shahih bahkan tidak pula termasuk perawi Kitabus Sittah selain Bukhari dan Muslim.<br />
<br />
Dalil lain yang melemahkan hadits ini pula adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas secara marfu dan mauquf dari dua jalan yang saling menguatkan. Redaksi haditsnya.<br />
<br />
“Artinya : Dari Anas bin Malik, berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari secara berjama’ah, dengan mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram), maka terlepas dari dua hal ; terlepas dari kenifakan dan neraka”<br />
<br />
Dikeluarkan oleh Tirmidzi 241. Kemudian aku temukan jalur ketiga secara marfu yang dikeluarkan oleh Bahsyal dalam kitab Tarikh Wasith hal. 36. Dikuatkan oleh hadits Umar bin Khaththab secara marfu yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/266 dengan sanad dha’if, terputus. Hadits-hadits ini redaksinya sangat berbeda dengan hadits di muka. Hadits ini lebih kuat, lantaran itu hadits pertama semakin pasti kedha’ifan dan kemungkarannya. Orang-orang yang menguatkannya sungguh menyelisihi kebenaran dan bisa juga menyelisihi keadilan.<br />
<br />
Dalam Silsilah Shahihah no. 2652, setelah memaparkan semua jalur hadits terakhir ini Al-Albani berkata : “Kesimpulannya, hadits dengan empat jalur dari Anas ini adalah minimal hasan, dan dengan jalur yang lainnya mungkin saja bertambah kuat dan tidak terpengaruh terhadap kedha’ifannya, Allahu Ta’ala A’lam”.<br />
<br />
Dalam kitab Manasik Haji wal Umrah, beliau (Al-Albani) membuat bab : Bid’ah-bid’ah Ziarah di Madinah Al-Munawarah. Lalu pada hal.63 beliau berkata, “Menetapnya para penziarah di Madinah selama seminggu sehingga dapat melaksanakan empat puluh shalat di Masjid Nabawi dengan tujuan berlepas dari kenifakan dan dari neraka”. Kemudian memberi catatan kaki, “Hadits yang berkaitan dengan hal itu tidak shahih dan tidak dapat dijadikan hujjah. Aku telah jelaskan cacatnya pada Silsilah Dha’ifah no. 364. Maka tidak boleh beramal dengannya sebab bila mengamalkan berarti membuat syari’at (bid’ah,-pent). Terlebih lagi sebagian jama’ah haji merasa berdosa karenanya sebagaimana aku ketahui sendiri, karena menyangka bahwa haditsnya shahih. Dan terkadang karena sebagian shalat terlewatkan, mereka merasa berdosa.<br />
<br />
Sebagian ulama berpendapat hadits tersebut terangkat derajatnya (shahih), karena bersandar kepada pentautsiqan Ibnu Hibban terhadap salah satu rawi yang majhul. Para ulama jarh wa ta’dil tidak menganggap tautsiq ini, termasuk ulama itu sendiri yang aku isyaratkan tadi. Sebagaimana dia katakan terang-terangan dalam bantahannya kepada Al-Ghumari dalam majalah Al-Jami’ah As-Salafiyah yang terbit di India”.<br />
<br />
[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 5 Tahun IV. Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu – Gresik Jatim]<br />
__________<br />
Foote Note<br />
[1]. Takhrij hadits diambil dari Silsilah Ahadits Dha’ifah 364 dan As-Shahihah 2652<br />
[2]. Nubaith bin Umar majhul ain, sebab tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu orang yaitu Abdurrahman bin Abi Ar-Rijal dan tidak ditautsiq (penilaian berupa pujian) : Rawi yang majhul ain riwayatnya tidak dapat diterima sama sekali menurut jumhur ahli hadits dan ini pendapat yang rajih, kuat (lihat Dhawabith Jarh wa Ta’dil, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Abdul Latif, hal. 83-84),-pent<br />
[3]. Ini pula yang menjadikan Hamzah Ahmad Zain, dalam tahqiq Musnad Ahmad no. 12521 berkata, ‘Minimal sanadnya hasan insya Allah’,-pent<br />
[4], Hadits dha’if yang menyelisihi hadits shahih</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-84288974485914249412009-11-04T02:18:00.002+07:002009-11-20T22:49:15.659+07:00MENYOROT KITAB DALAILUL KHAIRATOleh: Ust Abu Ubaidah<br />
<br />
Bagi warga Indonesia kitab yang ditulis oleh seorang bernama Muhammad bin Sulaiman al-Juzuli (wafat th. 870 H) ini bukanlah hal yang asing lagi, lantaran buku ini merupakan salah satu pegangan pokok dalam ritual terkenal di kalangan mereka yang biasa dikenal dengan “Barjanjian” . Bahkan bukan hanya di Indonesia saja, ternyata telah melanda di belahan dunia. Haji Khalifah berkata dalam Kasyfu Dzunun 1/759: “Kitab ini merupakan tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah tentang shalawat kepada Rasul, biasa dibaca di belahan barat dan timur, terutama Negara Eropa!!!”. <br />
<br />
Al-Ustadz Khairuddin al-Wanli mengatakan: “Demi Allah saya bersumpah, tidaklah saya memasuki perpustakan masjid melainkan saya mendapatkan kitab Dalail Khairat agak rusak, karena sering dipergunakan, padahal dalam waktu yang sama saya mendapati mushaf Al-Qur’an penuh dengan debu karena jarang dibuka. Semua ini karena kedustaan dan janji-janji palsu yang terdapat dalam Dalail bahwa barangsiapa yang membaca ini niscaya akan mendapatkan ini dan itu, shalawat ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan lain sebagainya dari kedustaan yang diterima oleh masyarakat dengan amat mudah. Oleh karenanya mereka begitu antusias dalam membacanya dan merasa bahwa mereka mendekatkan diri kepada Allah!! <br />
<br />
Dalam muqaddimahnya dicantumkan ucapan seorang diantara mereka:<br />
<span class="fullpost">وَإِذَا رَأَيْتَ النَّفْسَ مِنْكَ تَحَكَّمَتْ وَغَدَتْ تَقُوْدُكَ فِيْ لَظَى الشَّهَوَاتِ <br />
فَاصْرِفْ هَوَاهَا بِالصَّلاَةِ مُوَاظِبًا لاَ سِيَّمَا بِ "دَلاَئِلِ الْخَيْرَاتِ" !!<br />
Apabila engkau melihat hawa nafsumu memuncak<br />
Dan ingin menyeretmu ke jeratan syahwat<br />
Maka paligkanlah dengan banyak shalawat<br />
Terutama dengan “Dalail Khairat”!!. <br />
<br />
Seandainya seorang yang berakal mau merenungi isinya, niscaya dia akan berpaling darinya dan melarang manusia untuk membacanya karena memang kitab tersebut sarat dengan kedustaan, kesyirikan dan kesesatan, serta dia akan berusaha untuk mengeluarkan kitab-kitab ini dari rumah-rumah Allah”.<br />
<br />
Uraian singkat berikut ini mencoba untuk memberikan beberapa bukti sebagai gambaran tentang isi kitab tersebut. Kita berdoa kepada Allah agar memberikan kepada kita semua hidayah dan menetapkan kita di atasnya:<br />
<br />
<font color="#8620BB"><b>1. Shalawat Dibuat-Buat</b></font><br />
<br />
<br />
Dalam pembukaannya hal. 2, al-Juzuli mengatakan: “Tujuan penulisan kitab ini adalah memaparkan shalawat kepada Nabi dan keutamaan-keutamaannya. Kami menyebutkannya dengan membuang sanadnya agar mudah dihafal oleh pembaca. Hal itu merupakan suatu yang sangat penting sekali bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah”. <br />
<br />
Penulis ingin memberikan opini bahwa shalawat-shalawat yang dia utarakan terdapat dalam hadits-hadits yang shahih, padahal ternyata kebanyakannya adalah dusta, palsu dan tidak ada asalnya dalam agama, isinya juga sarat memuat lafadz-lafadz kesyirikan dan kebid’ahan yang seharusnya tidak muncul dari seorang yang sedikit saja memahami agama Islam!! Bahkan bukan hanya itu saja, penulis malah berani membuat-buat hadits palsu tentang keutamaan shalawat-shalawatnya dan menyandarkannya kepada Rasulullah, seperti pada hal. 111:<br />
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ قَرَأَ هَذِهِ الصَّلاَةَ مَرَّةً كَتَبَ اللهًُ لَهُ ثَوَابَ حَجَّةٍ مَقْبُوْلَةٍ وَثَوَابَ مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ<br />
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa membaca shalawat ini satu kali, maka Allah akan menilainya seperti pahala haji yang diterima dan pahala orang yang memerdekakan budak dari keturunan Ismail”.<br />
<br />
Lebih ngeri lagi, penulis nekat memberanikan diri membuat hadits-hadits qudsi seperti pada hal. 111:<br />
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : يَا مَلاَئِكَتِيْ! هَذَا عَبْدٌ مِنْ عِبَادِيْ أَكْثَرَ الصَّلاَةَ عَلَى حَبِيْبِيْ ... لأُعْطِيَنَّهُ بِكُلِّ حَرْفٍ صَلَّى قَصْرًا فِي الْجَنَّةِ<br />
Allah berfirman: “Wahai para Malaikatku! Ini adalah hamba dari hambaku yang memperbanyak shalawat kepada kekasihku… Saya akan memberinya pada setiap huruf shalawat sebuah istana di surga…”.<br />
<br />
Cukuplah sebagai dosa dan teguran apa yang disabdakan oleh Nabi dalam haditsnya yang mutawatir:<br />
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ <br />
<i>“Barangsiapa berdusta padaku dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di Neraka”.</i><br />
<br />
<font color="#8620BB"><b>2. Meminta Pertolongan Kepada Nabi</b></font><br />
<br />
Dalam pembukaannya, al-Juzuli mengatakan tentang Nabi:<br />
مُسْتَمِدَّا مِنْ حَضْرَتِهِ<br />
“Kita meminta bantuan kepada beliau”.<br />
<br />
Sungguh ini adalah suatu kesyirikan yang nyata, sebab meminta bantuan tidak boleh kecuali hanya kepada Allah semata, berdasarkan firmanNya:<br />
<i>(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut".(</i>QS. Al-Anfal: 9)<br />
<br />
<i>Hanya Engkaulah yang kami sembah dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. </i>(QS. Al-Fatihah: 5)<br />
<br />
Nabi sendiri apabila tertimpa kesulitan maka beliau bersungguh-sungguh dalam doa seraya mengatakan: <i>“Wahai Dzat Yang Hidup dan Kuat, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan”. </i>(HR. Tirmidzi 3524)<br />
<br />
<font color="#8620BB"><b>3. Memberi Nama dan Sifat Yang Tidak Pantas </b></font><br />
<br />
Al-Juzuli menyebutkan nama-nama Nabi lebih dari dua ratus nama, diantaranya:<br />
Muhyi (yang menghidupkan), Munji (penyelamat), Nashir (penolong), Mad’u (yang dimintai doa), Mujib (yang mengabulkan doa), Qawiyyun (yang maha kuat), Syaafii (penyembuh), Kasyiful Kurab (penghilang segala petaka)…!!<br />
<br />
Sebagaimana dimaklumi dalam agama Islam bahwa orang yang memberikan nama-nama seperti ini kepada selain Allah berarti dia di ambang pintu bahaya. Allah berfirman:<br />
<i>Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan. </i>(QS. Al-A’raf: 180)<br />
<br />
Bukan hanya itu saja, al-Juzuli kemudian memberikan nama-nama Nabi yang dibuat-buat sendiri seperti Yasin, Thoha, dan lain sebagainya. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: “Adapun apa yang disebutkan oleh orang-orang awam bahwa Yasin dan Thoha termasuk nama-nama Nabi maka hal itu tidak benar, tidak terdapat dalam hadits yang shahih, hasan, mursal ataupun atsar dari sahabat. Huruf-huruf ini adalah seperti Alif Lam Mim, Ha’ Mim, Alif Lam Ra dan sejenisnya”. (Tuhfatul Maudud hal. 109).<br />
<br />
<font color="#8620BB"><b>4. Khurafat Sufi</b></font><br />
<br />
Sangat nampak sekali dari buku ini bahwa al-Juzuli seorang Sufi tulen yang mengumpulkan beberapa bencana dalam kitabnya dari tokoh-tokoh Sufi sebelumnya seperti Ibnu Arabi, Syadzili dan selainnya. Diantara khurafat popular Sufi adalah aqidah mereka bahwa Nabi diciptakan dari cahaya. Oleh karenanya, al-Juzuli mengatakan:<br />
اللَّهُمَّ زِدْهُ نُوْرًا عَلَى نُوْرِهِ الَّذِيْ خَلَقْتَهُ مِنْهُ<br />
“Ya Allah, tambahkanlah dia cahaya di atas cahaya yang telah Engkau ciptakan”.<br />
<br />
Sungguh, aqidah ini sangat bertentangan sekali dengan firman Allah:<br />
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi: 110)<br />
<br />
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Adapun ucapan sebagian manusia, ahli khurafat dan orang-orang Sufi bahwa Nabi diciptakan dari cahaya dan makhulk pertama adalah cahaya Muhammad, semua ini adalah tidak ada asalnya, ucapan batil dan kedustaan belaka”. (Fatawa Nur Ala Darb 1/112-113). <br />
<br />
<font color="#8620BB"><b>5. Aqidah Wahdatul Wujud dan Melecehkan Tauhid</b></font><br />
<br />
Dalam shalawat Masyisyiyah, hal. 28-29 al-Juzuli mengatakan:<br />
اللَّهُمَّ زُجَّ بِيْ فِيْ بِحَارِ الأَحَدِيَّةِ وَانْشُلْنِيْ مِنْ أَوْحَالِ التَّوْحِيْدِ وَأَغْرِقْنِيْ فِيْ عَيْنِ بَحْرِ الْوَحْدَة ِحَتَّى لاَ أَرَى وَلاَ أَسْمَعَ وَلاَ أُحِسَّ إِلاَّ بِهَا <br />
“Ya Allah! Tenggelamkanlah aku dalam lautan ahadiyah (wahdatul wujud), dan selamatkanlah aku dari lumuran lumpur tauhid, tenggelamkanlah aku dalam lautan wahdah sehingga aku tidak melihat, mendengar dan merasakan kecuali dengannya…”.<br />
<br />
Perhatikanlah, bagaimana dia mensifati tauhid yang merupakan dakwah para rasul semenjak pertama hingga terakhir sebagai lumuran lumpur dan berdoa agar tenggelam dalam aqidah wahdatul wujud (Manunggaling Kawula Lan gusti), suatu aqidah yang sesat dan menyesatkan . Hanya kepada Allah, kita meminta perlindungan dari kehinaan dan kesesatan!!.<br />
<br />
Demikianlah beberapa contoh petaka yang terdapat dalam buku Dalail Khairat. Kita berdoa kepada Allah agar menampakkan kepada kita kebenaran untuk kita ikuti dan menampakkan kebatilan agar kita jauhi. Dan shalawat serta salam bagi Nabi dan kekasih kita, Muhammad bin Abdillah berserta ara keluarganya. <br />
</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com45tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-65773551482069788052009-11-04T01:47:00.001+07:002009-11-06T02:03:15.727+07:00BILA RAMADHAN TELAH BERLALUOleh: Abu Abdillah al-Atsari<br />
<br />
Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinantikan kehadirannya oleh setiap insan, lantaran bulan ini dipenuhi dengan berbagai keutamaan dan pahala yang melimpah. Akan tetapi ada yang patut menjadi sorotan kita bersama, yaitu kebiasaan sebagian orang yang giat beribadah dan mengerjakan ketaatan hanya pada bulan ini saja, seolah-olah mereka tidak kenal Islam, shalat dan amal kebajikan kecuali pada bulan ini!!, bukannya kita melarang mereka berbuat baik pada bulan ini, tetapi yang kita ingkari adalah kebiasaan jelek yang terus berulang setiap tahun!!, bukankah kita ketahui bersama apabila Ramadhan telah berlalu banyak orang yang kembali bermaksiat?, bukankah kita juga melihat banyak dari para wanita yang di bulan Ramadhan menutup aurat setelah Ramadhan berlalu mereka kembali pamer aurat?? perkara inilah yang ingin penulis singgung pada kesempatan kali ini, sebagai nasehat bagi seluruh saudaraku-saudaraku seiman, semoga kita selalu taat, beribadah dan istiqamah beramal shalih pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya. Wallohul Muwaffiq. <br />
<br />
<font color="#203806"><b>Istiqamah Dalam Beramal Shalih</b></font><br />
Saudaraku seiman, sesungguhnya agama Islam yang mulia ini mempunyai keistimewaan dibandingkan agama-agama samawi lainnya dari sisi praktek dan amalan. Islam adalah agama yang selalu mendampingi kehidupan para hambanya, <span class="fullpost">tidak terpisah antara agama Islam dengan kehidupan yang kita lakoni, tidak terhenti ketika telah selesai dari suatu ritual ibadah. Islam menganjurkan para hambanya untuk terus beramal di setiap waktu dan tempat, baik pada bulan Ramadhan, Syawal, dan bulan-bulan lainnya. Tidak terhenti aktifitas seorang muslim dari amalan dan ibadahnya kecuali apabila ajal telah menjemputnya.<br />
Alloh berfirman:<br />
<i>Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).</i> (QS.al-Hijr 99).<br />
Sebagai contoh mudah adalah ibadah shalat, ibadah ini senantiasa kita kerjakan berulang-ulang, lima kali dalam sehari semalam, tidak boleh ditinggalkan walau bagaimanapun keadaannya. Kontinu dalam beramal tidak terbatas pada amalan yang wajib, yang sunnahpun dianjurkan pula untuk istiqamah. Aisyah telah menuturkan bahwasanya Rasulullah pernah bersabda;<br />
أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلىَ اللهِ أَدْوَمُهَا وَ إِنْ قَلَّ<br />
<i>Amalan shalih yang paling dicintai Alloh adalah yang terus-menerus dikerjakan sekalipun sedikit.</i> (Bukhari 6464, Muslim 782).<br />
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jalur Aisyah pula bahwanya Rasulullah senang untuk istiqamah mengerjakan shalat. Adalah beliau apabila tertidur atau sakit hingga tidak bisa shalat malam, beliau shalat pada siang harinya 12 rakaat. (HR.Muslim 746).<br />
Renungilah wahai para hamba Alloh, Nabi kita yang mulia beliau mengganti shalat malamnya yang terluputkan pada siang harinya, padahal kita tahu bersama shalat malam tidaklah wajib?!, ini tiada lain karena semangatnya beliau untuk istiqamah dalam beramal.<br />
<br />
Keutamaan Istiqamah Dalam Beramal Shalih<br />
Istiqamah dalam beramal shalih mempunyai keutamaan yang sangat banyak, bermanfaat di dunia dan akherat, diantaranya adalah;<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>1.Mendapat kecintaan dari Alloh</b></font><br />
Orang yang senantiasa beramal shalih akan selalu berhubungan dengan Alloh, dia akan selalu menjaga kewajiban yang diembankan, mendekatkan diri kepada Alloh dengan amalan sunnah hingga menjadi hamba yang dicintai olehNya, kemuliaan apalagi yang lebih mulia dari ini semua? Rasulullah bersabda;<br />
إِنَّ اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ, وَ مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ, وَمَا زَالَ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتىَّ أَحْبَبْتُهُ.<br />
<i>Alloh berfirman, Barangsiapa yang memusuhi waliku maka aku umumkan peperangan kepadanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku cintai daripada kewajiban yang Aku embankan kepadanya, dan senatiasa hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.</i> (HR.Bukhari 6502, Baghowi 1248, Abu Nua’im 1/4).<br />
Imam al-Faqihani mengatakan, “Makna hadits ini, apabila seorang hamba menunaikan kewajibannya dan melazimi amalan sunnah baik berupa shalat, puasa atau lainnya, maka hal itu akan mendatangkan kecintaan Alloh kepadanya”. (Fathul Bari 11/417).<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>2.Sebab terkabulnya do’a</b></font><br />
Mayoritas manusia apabila ditimpa kesusahan baru akan bersandar kepada Alloh, namun pantaskah seorang hamba lupa kepada Alloh ketika senang dan hanya ingat kepadaNya ketika susah saja??. Kenali dan ingatlah Alloh tatkala senang, jangan lalai ketika mendapat nikmat, Rasulullah bersabda;<br />
تَعَرَّفْ إِلىَ اللهِ فِيْ الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِيْ الشِّدَّةِ<br />
<i>Kenalilah Alloh tatkala lapang, niscaya Alloh akan mengenalmu tatkala susah.</i> (HR.Tirmidzi 2516, Ahmad 1/293, Abu Ya’la 2556. Lihat al-Misykah 5302).<br />
Sabdanya yang lain,<br />
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيْبَ اللهُ لَهُ عِنْدَ الشَدَائِدِ وَ الْكُرَبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِيْ الرَّخَاءِ<br />
<i>Barangsiapa yang ingin dikabulkan permohonannya ketika susah dan sempit, maka perbanyaklah do’a ketika senang.</i> (HR.Tirmidzi 3382. Lihat as-Shahihah 593).<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>3.Tecegah dari perbuatan mungkar</b></font><br />
Terus-menerus dalam beramal shalih akan melatih jiwa dari racun syahwat, menghalangi dari perbuatan yang tidak pantas. Alloh menyebutkan salah satu manfaat dari shalat dalam firmanNya;<br />
<i>Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.</i> (QS.al-Ankabut 45).<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>4.Tetap ditulis pahalanya sekalipun berhalangan</b></font><br />
Apabila seseorang senantiasa beramal shalih, kemudian suatu ketika tidak bisa mengerjakan kebiasaannya karena suatu halangan, maka Alloh akan tetap menulis ganjaran amalan shalih yang biasa ia kerjakan. Rasulullah bersabda:<br />
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا<br />
<i>Apabila seorang hamba sakit atau sedang bepergian, akan tetap ditulis pahalanya seperti ketika dia sehat dan mukim. </i>(HR.Bukhari 2996, Abu Dawud 3091).<br />
Dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda, <br />
مَا مِنْ امْرِئٍ تَكُوْنُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ يَغْلِبُهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كُتِبَ لَهُ أَجْرُ صَلاَتِهِ وَ كَانَ نَوْمُهُ عَلَيْهِ صَدَقَةً<br />
<i>Tidaklah seseorang terbiasa mengerjakan shalat malam kemudian suatu ketika tertidur, melainkan akan tetap ditulis pahala shalatnya dan tidurnya adalah sadaqah baginya.</i> (HR.Abu Dawud 1314, Nasai 3/257, Ahmad 6/180. Dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa’ 2/205)<br />
<br />
al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ini adalah untuk orang yang biasa mengerjakan ketaatan kemudian terhalangi sesuatu, dan niatnya andaikan tidak ada halangan akan tetap mengerjakannya”. (Fathul Bari 6/136).<br />
Ini adalah anugerah yang paling besar yang Alloh berikan kepada para hambanya, bahwa amalan mereka yang terus menerus dan menjadi kebiasaan apabila terhalangi karena sakit atau safar tetap akan ditulis ganjarannya secara sempurna. (Bahjah Qulubul Abrar hal.96).<br />
<br />
<font color="#203806"><b>Bagaimana Istiqamah Dalam Beramal Shalih ?</b></font><br />
Pertanyaan ini sering muncul dari sebagian saudara-saudara kita yang menghendaki istiqamah dalam beramal, baiklah berikut ini kami berikan sedikit kiat-kiat agar bisa istiqamah dalam beramal shalih;<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>1. Memperbaharui taubat dan senantiasa istighfar</b></font><br />
Karena hal itu akan menambah semangat dan kekuatan untuk istiqamah dalam beramal. Renungilah firman Alloh berikut ini: <br />
Dan (Dia berkata): <i>“Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”</i> (QS.Huud 52).<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>2. Memilih amalan shalih sesuai kesanggupan</b></font><br />
Amalan shalih banyak ragamnya, maka pilihlah amalan sunnah yang kira-kira kita sanggupi, tidak memberatkan dan bisa istiqamah di dalamnya walaupun hanya sedikit. Generasi salaf terdahulu merekapun berbeda-beda dalam beramal, diantara mereka ada yang banyak shalat malam, yang lain banyak dzikir dan tashbih, dan lain-lain. Akan tetapi perlu diperhatikan, hal ini bukan berarti menekuni dan mengkhususkan suatu amalan tertentu saja kemudian meninggalkan amalan yang lain, yang benar adalah memperbanyak sebuah amalan yang kita pandang mampu untuk istiqamah, dengan tetap mengerjakan amalan yang lain walau hanya sekali dua kali.<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>3.Jangan memberatkan diri</b></font><br />
Jiwa sesuai tabiatnya sangat senang dengan hawa nafsu dan mudah bosan. Andaikan seseorang memberatkan dan memaksakan diri dengan suatu amalan yang tidak ia sanggupi, bisa jadi ia malah meninggalkan amalan itu secara keseluruhan, dan hal ini tercela. Rasulullah bersabda,<br />
يَا أَيُّهَا النَّاسُ! عَلَيْكُمْ مِنَ اْلأَعْمَالِ مَا تُطِيْقُوْنَ, فَإِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتىَّ تَمَلُّوْا<br />
<i>Wahai sekalian manusia, kerjakanlah amalan yang sesuai kesanggupan kalian, karena sesungguhnya Alloh tidak akan jemu hingga kalian sendiri yang merasa jemu.</i> (HR.Bukhari 1970, Muslim 783).<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>4.Memohon pertolongan kepada Alloh</b></font><br />
Taufiq, pertolongan datangnya dari Alloh semata. Seorang hamba membutuhkan pertolongan Alloh agar bisa terus beramal. Maka sudah menjadi kemestian bagi siapapun yang menghendaki istiqamah dalam beramal untuk bersandar dan meminta kepadaNya. Karena pentingnya kebutuhan ini, di setiap rakaat kita selalu mengulang do’a, <i>Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan</i>. Demikian pula tauladan kaum muslimin Rasulullah beliau selalu meminta pertolongan kepada Alloh dalam ibadahnya, sebagaimana do’a yang ia ajarkan kepada Muadz bin Jabal yang berbunyi;<br />
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلىَ ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ<br />
<i>Ya Alloh, tolonglah aku untuk berdzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu dan memperbagusi ibadah kepadaMu.</i> (HR.Abu Dawud 1522, Nasai 3/53, Ahmad 4/338, Ibnu Khuzaimah 724. Lihat al-Misykah 949).<br />
<br />
<font color="#450C8C"><b>5.Mengambil pelajaran dari orang yang tidak istiqamah dalam beramal</b></font><br />
Maksudnya, jadikanlah hal itu sebagai pelajaran agar kita tidak mencontohnya. Karena orang yang tidak istiqamah dalam beramal shalih berhak mendapat celaan. Nabi pernah mengingatkan hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bahwasanya beliau bersabda,<br />
يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ, كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ<br />
<i>Wahai Abdullah janganlah kamu seperti si fulan, dia dulu mengerjakan shalat malam kemudian meninggalkannya.</i> (HR.Bukhari 1152, Muslim 1159).<br />
<br />
<font color="#203806"><b>Tinggalkan kemaksiatan selama-lamanya</b></font><br />
Pada bulan Ramadhan semua orang memahami dengan baik hadits Rasulullah yang berbunyi;<br />
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ, وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ<br />
<i>Apabila bulan Ramadhan tiba, dibukalah pintu surga, ditutup pintu neraka dan dibelenggu setan-setan.</i> (HR.Bukhari 1899, Muslim 1079).<br />
Berlandaskan hadits ini, banyak dari kaum muslimin yang semangat mengerjakan ketaatan pada bulan ini, masjid-masjid dipenuhi jama’ah shalat tarawih, pria, wanita, anak-anak kumpul meramaikan masjid, sampai orang yang tadinya tidak pernah shalatpun apabila bulan ramadhan tiba, semangat dalam mengerjakan kebaikan??, belum lagi acara-acara TV yang berlagak islami dengan menampilkan acara keislaman, para wanita yang biasa telanjangpun berubah seratus derajat dengan memakai busana muslim!!, akan tetapi lihatlah bagaimana setelah bulan Ramadhan ini berlalu?? mereka umumnya kembali kepada kebiasaannya masing-masing!!, seolah-olah ketaatan dan ibadah itu hanya khusus di bulan Ramadhan saja!!. Apakah pantas seorang hamba mengikuti setan setelah Ramadhan berlalu? apakah dibenarkan untuk menerjang dosa dan keharaman setelah ia beramal ketaatan?<br />
Apakah berakhirnya Ramadhan berakhir pula rasa takut dan taubat kita kepada Alloh?. Tidak sekali-kali tidak!. Wahai orang yang berpuasa dan shalat serta orang yang mendapatkan malam lailatul qadr, apakah pantas setelah engkau dihapus dosamu kemudian engkau kembali bermaksiat lagi? tidakkah engkau ingat tatkala engkau menangis di malam Ramadhan atas segala dosamu, apakah engkau lupa akan tangisanmu yang baru beberapa hari saja?. Kita berlindung kepada Alloh agar tidak menjadi orang-orang yang hanya mengenal Rabbnya pada bulan Ramadhan saja.<br />
Dikisahkan, ada sekelompok orang pada generasi terdahulu yang membeli budak wanita. Tatkala hampir dekat bulan Ramdhan, orang-orang ini bersiap-siap menyambutnya dengan makanan dan selainnya. Lantas budak wanita itupun bertanya, “Ada acara apa ini?” Mereka serentak menjawab, ‘”Kami bersiap-siap untuk menyambut bulan Ramadhan”, budak wanita itu akhirnya berkata, “Kalian tidak berpuasa kecuali di bulan Ramadhan saja? sungguh aku dulu hidup di sekeliling orang-orang yang seluruh waktu mereka adalah Ramadhan, kembalikan saja aku kepada mereka”. (Lathaiful Ma’arif hal. 378).<br />
Sebagian salaf mengatakan, “Berpuasalah pada kehidupan duniamu dan jadikanlah berbukanya saat tiba kematian”.<br />
<br />
Kehidupan dunia ini ibaratnya adalah bulan puasa bagi orang-orang yang bertakwa, mereka berpuasa dari syahwat dan keharaman, apabila telah datang kematian maka saat itulah berakhir bulan puasa mereka dan mereka merayakan hari berbukanya. (Lathaiful Ma’arif hal.378).<br />
Maka barangsipa yang berpuasa pada kehidupan dunianya dari segala hawa nafsu, ia akan berbuka setelah kematiannya, dan barangsiapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan apa yang diharamkan padanya, maka ia akan disiksa untuk tidak mendapatkannya di akherat. Hal ini sesuai dengan gambaran al-Qur’an yang berbunyi:<br />
<i>Dan (Ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu Telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu Telah bersenang-senang dengannya; Maka pada hari Ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu Telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik".</i> (QS.al-Ahqaaf 20).<br />
<br />
Akan tetapi sangat disayangkan dan membuat hati ini menagis, keadaan kaum muslimin dewasa ini, mereka umumnya meremehkan perkara agama mereka, mereka hanya semangat pada waktu dan acara tertentu saja, apabila telah selesai, maka kewajibanpun kembali ditinggalkan, masjid kembali sunyi, larangan kembali diterjang, al-qur’an ditinggalkan, mereka tidak kembali beramal kecuali pada acara berikutnya.<br />
Waspadalah dari perkara ini wahai saudaraku, tinggalkan dosa selama-lamanya, ucapkan selamat tinggal kepada dosa dan kemaksiatan, buang jauh-jauh, agar engkau selamat di dunia dan akherat, beribadahlah kepada Alloh di setiap waktu dan tempat hinga berjumpa denganNya. Alloh berfirman:<br />
<i>Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).</i> (QS.al-Hijr 99).<br />
<br />
<font color="#203806"><b>Potret Kehidupan Salaf Dalam Beramal Shalih</b></font><br />
Sebaik-baik manusia adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya dan setelahnya. Demikianlah ketegasan Rasulullah terhadap generasi terbaik ummat ini, yaitu para sahabat. Dalam beramal shalih para salafus shalih telah memberikan teladan kepada kita semua bagaimana seharusnya beramal shalih dan istiqamah diatasnya. Berikut sebagian perikehidupan mereka dalam beramal shalih. <br />
<br />
<font color="#0000ff">1.</font>Ali bin Abi Thalib tidak pernah meninggalkan sebuah amalan shalih setelah mendengarnya dari Rasulullah. Diceritakan bahwa Ali dan Fathimah pernah meminta seorang pembantu kepada Rasulullah, kemudian beliau menjawab, “Maukah kalian aku ajarkan kebaikan yang kalian minta? apabila kalian hendak tidur maka bacalah takbir 34 kali, tasbih 33 kali, dan tahmid 33 kali, maka hal itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu”. Ali berkata, “Sejak itu aku tidak pernah meninggalkannya”, ada yang bertanya, “Sampai sekalipun ketika malam perang siffin?” Dia menjawab, “Iya sampai perang siffin aku tetap mengerjakannya”. (HR.Bukhari 6318, Muslim 2727).<br />
<br />
<font color="#0000ff">2.</font>Adalah sahabat yang mulia Bilal selalu mengerjakan shalat dua rakaat setelah berwudhu. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Buraidah, bahwa Rasulullah pernah memanggil Bilal dan bertanya kepadanya, “Wahai Bilal dengan amalan apa kamu mendahuluiku masuk surga? tidaklah aku masuk surga kecuali aku mendengar suara sendalmu dihadapanku. Bilal menjawab, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali aku shalat dua rakaat terlebih dahulu, dan tidaklah aku berhadats kecuali aku berwudhu kemudian shalat dua rakaat”. Rasulullah menyahut, “Oh karena itu toh”. (HR.Tirmidzi 3690. Lihat Shahih Sunan Tirmidzi oleh al-Albani).<br />
<br />
<font color="#0000ff">3.</font>Ummul Mu’minin Aisyah biasa mengerjakan shalat dhuha delapan rakaat, kemudian ia berkata, “Andaikan kedua orang tuaku dihidupkan kembali aku tetap tidak akan meninggalkannya”. (HR.Malik 1/153).<br />
<br />
<font color="#0000ff">4.</font>Apa yang diriwayatkan oleh Ummu Habibah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa yang shalat empat rakaat sebelum zhuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Alloh haramkan dagingnya tersentuh api neraka”. Ummu Habibah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan amalan itu sejak aku mendengarnya dari Rasulullah”. (HR.Nasai 3/265, Abu Dawud 1269, Tirmidzi 427. Lihat al-Misykah 1167).<br />
<br />
<font color="#0000ff">5.</font>Yang paling mengherankan dari ini semua adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (No.728). dia berkata, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Numair, telah menceritakan kepadaku Sulaiman bin Hayyan dari Dawud bin Abi Hind, dari Nu’man bin Salim dari Amr bin Aus dia berkata, telah menceritakan kepadaku Anbasah bin Abi Sufyan ketika sakit yang membuatnya meninggal dengan sebuah hadits yang membuatnya gembira, dia berkata, Ummu Habibah berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, akan dibangunkan baginya rumah di surga”.<br />
Ummu Habibah berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan amalan itu sejak aku mendengarnya dari Rasulullah”.<br />
Anbasah berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan amalan itu sejak aku mendengarnya dari Ummu Habibah”.<br />
Amr bin Aus berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan amalan itu sejak aku mendengarnya dari Anbasah”.<br />
Nu’man bin Salim berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan amalan itu sejak aku mendengarnya dari Amr bin Aus”.<br />
Kita memohon kepada Alloh agar menetapkan kita diatas keimanan dan sunnah, memberi kita kekuatan untuk melaksanakan ketaatan kepadaNya dan memasukkan kita semua sebagai orang-orang yang bertakwa. Amiin. Allohu A’lam.<br />
</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-47608451890309504742009-11-03T17:03:00.001+07:002009-11-28T22:08:26.600+07:0010 FAEDAH TENTANG HAJIUst Abu Ubaidah<br />
<br />
<br />
1- HAJI AKBAR<br />
<br />
Pendapat yang populer dalam madzhab Syafi’I bahwa hari haji akbar adalah hari Arafah (9 Dzulhijjah). Namun pendapat yang benar bahwa hari haji akbar adalah pada hari nahr (menyembelih kurban, 10 Dzulhijjah), berdasarkan firman Allah:<br />
<font face="Times New Roman" size="4" color="red">وَأَذَانٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأَكْبَرِ</font><br />
Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan rasulNya kepada umat manusia pada hari haji akbar. (QS. At-Taubah: 3)<br />
Dalam Shahih Bukhari 8/240 dan Shahih Muslim 1347 disebutkan bahwa Abu Bakar dan Ali mengumumkan hal itu pada hari nahr, bukan pada hari Arafah. <br />
Dan dalam Sunan Abu Dawud 1945 dengan sanad yang sangat shahih, Rasulullah bersabda:<br />
يَوْمُ الَحَجِّ الأَكْبَرِ يَوْمُ النَّحْرِ<br />
Hari haji akbar adalah hari nahr (menyembelih kurban).<br />
Demikian juga dikatakan oleh Abu Hurairah dan sejumlah para sahabat. (Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 1/55-56).<br />
<span class="fullpost"><br />
2- HAJI MABRUR<br />
<br />
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ <br />
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Umrah ke umrah berikutnya pelebur dosa antara keduanya. Dan tidak ada balasan untuk haji mabrur kecuali surga”. (HR. Bukhari 1683 Muslim 1349)<br />
Haji mabur memiliki beberapa kriteria:<br />
Pertama: Ikhlas, seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggan, atau agar dipanggil oleh masyarakatnya “pak haji” atau “bu haji”. <br />
<br />
Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. (QS. Al-Bayyinah: 5)<br />
Kedua: Ittiba’ kepada Nabi, dia berhaji sesuai tata cara haji yang diperaktekkan oleh Nabi dan menjauhi perkara-perkara bid’ah haji. Beliau sendiri bersabda:<br />
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ<br />
Contolah cara manasik hajiku. (Muslim 1297)<br />
Ketiga: Harta untuk berangkat hajinya adalah harta yang halal. Nabi bersabda:<br />
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ, لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا <br />
Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik. (Muslim 1015)<br />
Keempat: Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan. <br />
<br />
Barangsiapa yang menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (kata-kata tak senonoh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan pada masa haji. (QS. Al-Baqarah: 197)<br />
Kelima: Berakhlak baik antar sesama, tawadhu dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya. <br />
Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 22/39: “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal”. (Lathaif Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masail Yaktsuru Sual Anha Abdullah bin Shalih al-Fauzan 12-13)<br />
<br />
3- ASAL HAJAR ASWAD<br />
<br />
<br />
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ, أَشَدَّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ, فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِيْ آدَمَ<br />
Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah bersabda: “Hajar aswad turun dari surga, dia lebih putih daripada susu, lalu dosa-dosa anak Adam membuatnya hitam”. (Shahih. HR. Tirmidzi 877, Ibnu Khuzaimah 1/271, ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 3/155, Ahmad 1/307, 329, 373. Lihat Silsilah ash-Shahihah al-Albani 2618)<br />
Kita beriman dengan tekstual hadits ini dan pasrah sepenuhnya, sekalipun orang-orang ahli filsafat mengingkarinya. (Lihat Ta’wil Mukhtalif Hadits Ibnu Qutaibah hal. 542). <br />
Sulaiman bin Khalil (imam dan khathib masjid haram dahulu) menceritakan bahwa dirinya melihat tiga bintik berwarna putih jernih pada hajar aswad, lalu katanya: “Saya perhatikan bintik-bintik tadi, ternyata setiap hari berkurang warnanya”. (al-Aqdu Tsamin al-Fasi al-Makki 1/68, Asrar wa Fadhail Hajar Aswad Majdi Futhi Sayyid hal. 22).<br />
Sungguh dalam hal itu terdapat pelajaran berharga bagi seorang yang berakal, sebab kalau demikian bekas dosa pada batu yang keras, maka bagaimana kiranya pada hati manusia?! (Fathul Bari Ibnu Hajar 3/463)<br />
<br />
4- JEDDAH TERMASUK MIQAT??<br />
<br />
Sebagian kalangan ada yang mencuatkan pendapat bahwa kota Jeddah boleh dijadikan sebagai salah satu miqat untuk para jama’ah haji yang datang lewat pesawat udara atau kapal laut. Namun pendapat ini disanggah secara keras oleh Haiah Kibar Ulama dalam keputusan rapat mereka no. 5730, tanggal 21/10/1399 H sebagai berikut:<br />
Pertama: Fatwa tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para jamaah haji yang datang lewat pesawat udara dan kapal laut merupakan fatwa yang bathil, karena tiada bersandar pada Kitabullah dan sunnah rasulNya serta ijma’ salaf shalih. Tidak ada satupun ulama kaum muslimin sebelumnya yang mendahului pendapat ini.<br />
Kedua: Tidak boleh bagi jama’ah haji yang melewati miqat, baik lewat udara maupun laut (Miqat Indonosia adalah Yalamlam -pent-) untuk melampuinya tanpa ihram sebagaimana ditegaskan dalam dalil-dalil yang banyak dan ditandaskan para ulama”. (Fiqih Nawazil al-Jizani 2/317, Taisir Alam al-Bassam 1/572-573)<br />
<br />
5- DZIKIR KETIKA THAWAF<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Disunnahkan ketika thawaf untuk berdzikir dan berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan. Kalau mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak ada doa tertentu dari Nabi, baik dari perintahnya, ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan beliau berdoa dengan umumnya doa-doa yang disyariatkan. Adapun apa yang disebutkan kebanyakan manusia adanya doa khusus di bawah mizab dan selainnya maka semua itu tidak ada asalnya”. (Majmu Fatawa 26/122)<br />
<br />
6- PROBLEM ORANG BOTAK<br />
<br />
Telah dimaklumi bersama bahwa dalam haji ada syariat cukur/memendekkan rambut. Namun bagaimana dengan seorang yang botak dan tidak memiliki rambut untuk dicukur?! Sebagian para fuqaha’ mengatakan: hendaknya dia tetap melewatkan alat cukur di kepalanya. Namun pendapat yang benar bahwa hal ini dibenci, syari’at bersih darinya, sia-sia dan tiada faedahnya, sebab melewatkan alat cukur hanyalah sekedar sebagai wasilah (perantara) saja bukan tujuan utama. Kalau tujuan utamanya gugur, maka wasilah tidak bermakna lagi. Persis dengan masalah ini adalah seorang yang lahir sedangkan dzakarnya sudah dikhitan, apakah perlu dikhitan lagi?! Atau melawatkan pisau padanya?! Pendapat yang benar adalah tidak perlu. (Lihat Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud Ibnu Qayyim, hal. 330).<br />
<br />
7- AIR ZAM-ZAM<br />
<br />
Al-Humaidi berkata: Saya pernah berada di sisi Sufyan bin ‘Uyainah, lalu beliau menceritakan kepada kami hadits:<br />
مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ<br />
Air zam-zam tergantung keinginan seorang yang meminumnya.<br />
Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi seraya mengatakan: Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau ceritakan kepada kami tadi tentang zam-zam adalah hadits yang shahih? Jawab beliau: Benar. Lelaki itu lalu berkata: Baru saja aku meminum seember air zam-zam dengan harapan engkau akan menceritakan kepadaku seratus hadits. Akhirnya, Sufyan berkata padanya: Duduklah. Lelaki itupun duduk, dan Sufyan menceritakan seratus hadits padanya. (Al-Mujalasah Abu Bakar ad-Dinawari 2/343, Juz Ma’a Zam-Zam Ibnu Hajar hal. 271).<br />
Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya dalam menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati penanya tersebut, alangkah semangatnya dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut untuk mendapatkannya! (Fadhlu Ma’a Zam-Zam Sayyid Bakdasy hal. 137)<br />
<br />
8- NAMA MIQAT MADINAH<br />
<br />
Miqat penduduk Madinah atau jama’ah haji yang lewat Madinah adalah Dzul Hulaifah sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Adapun penamaannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di masyarakat maka hendaknya diganti. Sebab bagaimanapun lafadz yang tertera dalam hadits itu lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bir Ali (Sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berduel dengan Jin di sumur tersebut, sehingga karena itulah disebut Bir Ali. <br />
Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan akan bathilnya cerita tersebut, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj Sunnah 8/161, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah 2/344, Ibnu Hajar dalam al-Ishabah 1/498, Mula Ali al-Qori dalam al-Maslak al-Mutaqassith hal. 79, dan lain sebagainya. (Qashashun Laa Tatsbutu Masyhur Hasan Salman 7/95-119)<br />
<br />
9- TITIP SALAM UNTUK NABI<br />
<br />
Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru dalam agama. Al-Hamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita, Dia menjadikan salam kita untuk Nabi sampai kepada beliau dimanapun kita berada, baik di ujung timur maupun barat. Nabi bersabda:<br />
لاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا, وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا, وَصَلُّوْا عَلَيَّ, فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ أَيْنَ كُنْتُمْ<br />
Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku dimanaun kalian berada. <br />
Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali. (al-Mustadrak ala Mu’jam Manahi Lafdziyyah Sulaiman al-Khurasi hal. 231-232)<br />
<br />
10- GANTI NAMA USAI HAJI<br />
<br />
Soal: Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji seerti yang banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, dimana mereka mengganti nama di Mekkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah ataukah tidak?<br />
Jawab: Nabi biasa mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila para jama’ah haji Indonesia tersebut mengganti nama mereka karena sebab tersebut, bukan karena sebab usai melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid Nabawi, maka hukumnya boleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia mengganti nama mereka karena alasan pernah di Mekkah/Madinah atau usai melakukan ibadah haji, maka hal itu termasuk perkara bid’ah, bukan sunnah. (Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515).<br />
</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-67632491811955829722009-11-03T16:30:00.005+07:002009-12-01T02:17:49.198+07:00HAJI BADAL<font color="#2BC7E3">Ust Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi</font><br />
<br />
<br />
Al-Hamdulillah, itulah sebuah kata yang semestinya selalu kita ucapkan sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah atas segala limpahan karuniaNya yang diberikan kepada kita semua, khususnya kepada penulis pribadi yang lemah ini. Salah satu diantaranya, Allah telah memberikan kesempatan kepadanya untuk menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri kemudian disusul juga untuk ayahnya -rahimahullah- yang telah meninggal dunia. Kami berdoa kepada Allah agar Dia tidak mencabut kenikmatan ini darinya, dan kamipun tidak lupa berdoa agar saudara-saudari kami juga dimudahkan oleh Allah untuk hal yang sama.<br />
Sengaja penulis bercerita sedikit dan mengungkapkan hal di atas karena dua alasan:<br />
Pertama: Sebagai realisasi firman Allah:<br />
<br />
Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (QS. Adh-Dhuha: 11)<br />
<br />
Kedua: Ketika penulis menginformasikan kepada keluarga bahwa dirinya akan menghajikan untuk sang ayah, ternyata ada celetukan yang membuatnya kaget dan bengong; “Lho, kata orang, menghajikan model begitu enggak boleh”!! Entahlah, penulis saat itu tidak dapat berkomentar banyak, karena memang dia tidak ingin berdebat dalam dialog waktu itu, disebabkan momen yang kurang tepat. Hanya saja ada sesuatu yang terpendam dan mengganjal hingga saat ini: “Dari manakah datangnya celetukan itu?! Siapakah yang mengajari mereka seperti itu?! Adakah ulama yang berpendapat seperti itu?! Segudang pertanyaan selalu membuntuti penulis untuk mencari jawabannya!!. <br />
<span class="fullpost">Penulis mencoba untuk menelusuri dan berfikir sebentar, ternyata ingatannya terbang pada buku yang pernah dia baca kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu buku “Kata Berjawab” oleh Ustadz yang mulia, Abdul Qadir Hassan -rahimahullah-, dimana beliau berkomentar tentang hadits bolehnya si anak berpuasa atau menghajikan orang tua: “Hadits ini lemah, sekalipun terdapat dalam Shahih Bukhari Muslim!! Karena bertentangan dengan Al-Qur’an, dimana Allah berfirman:<br />
<br />
Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm: 39)<br />
Sedangkan termasuk syarat keabsahan suatu hadits adalah tidak bertentangan dengan Al-Qur’an!!<br />
Sepertinya inilah yang disindir oleh Ustadzuna al-Fadhil Abu Unaisah Abdul Hakim Abdat -Hafidhahullah- dalam kitabnya Al-Masail Juz. 3, masalah 66 -ketika membicarakan bahwa metode Ahli bid’ah dalam menolak hadits adalah mempertentangkan antara Al-Qur’an dengan hadits atau sebaliknya-: “Jadi tidak perlu dipertentangkan antara ayat (surat An-Najm di atas -pent) dengan hadits-hadits yang datang menjelaskan:<br />
1. Bahwa apabila anak bersedekah atas nama kedua orang tua atau salah satunya yang telah wafat, maka pahalanya akan sampai pada mereka. (Riwayat Bukhari Muslim).<br />
2. Atau anak menghajikan orang tuanya yang masih hidup tetapi sudah tidak kuat lagi karena disebabkan usia tua atau sakit menahun. (Riwayat Bukhari Muslim).<br />
3. Atau anak menghajikan orang tuanya yang sudah wafat.<br />
4. Atau membayar puasa orang tuanya yang telah wafat.<br />
Atau diakui bahwa hadits-hadits tersebut memang shahih sanadnya, akan tetapi dha’if matan-nya ?! Semua itu menjelaskan alangkah dha’if-nya (lemahnya) mereka dalam memahami Al-Qur’an dan hadits. Dan alangkah jahilnya mereka terhadap manhaj ilmiyyah para sahabat di dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah…”.<br />
Dari sinilah, pada edisi kali ini, hati ini tergerak untuk mengulas masalah ini -sekalipun secara sederhana- agar permasalahan ini menjadi jelas bagi kita semua. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua pencari kebenaran, penerima kebenaran, dan penyeru kebenaran. Amiin.<br />
<br />
TEKS HADITS <br />
Ada beberapa hadits yang akan menjadi bahan berharga bagi kita untuk mengulas permasalahan ini, yaitu sebagai berikut:<br />
<br />
Pertama: Hadits Abdullah bin Abbas<br />
Riwayat dari Ibnu Abbas ini memiliki banyak lafadz yang sangat penting, diantaranya:<br />
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيْفَ رَسُوْلِ اللهِ, فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ, فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ, وَجَعَلَ النَّبِيُّ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الآخَرِ. فَقَالَتْ : يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أََبِيْ شَيْخًا كَبِيْرًا, لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ, وَذَلِكَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ<br />
Dari Ibnu Abbas berkata: Pernah Fadhl bin Abbas dibonceng oleh Nabi, lalu datanglah seorang wanita dari Khats’am, maka Fadhl melihatnya dan wanita itupun juga memandangnya. Nabi kemudian memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Wanita itu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah kepada hambaNya untuk berangkat haji telah terpenuhi pada ayahku yang telah lanjut usia dan tidak bisa naik di atas kendaraan, apakah saya boleh mengahajikan untuknya? Jawab Nabi: Boleh. Hal itu pada saat haji wada’.<br />
SHAHIH. Diriwayatkan Bukhari 1513, Muslim 1334, Abu Dawud 1809, Nasai 2641, 2642, Tirmidzi 928, Ibnu Majah 2909, Darimi 1/370-371, Ahmad 1/212, 213, 219, 251, 329, 346, 359, ath-Thayyalisi 2663, al-Humaidi 507, Ibnu Khuzaimah 4/342, 343, Ibnu Jarud dalam al-Muntaqa 497, al-Baihaqi 4/328, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/210-220, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 7/25 dari jalur Sulaiman bin Yasar dari Ibnu Abbas. <br />
<br />
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ : إِنَّ أُخْتِيْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَإِنَّهَا مَاتَتْ؟ فَقَالَ : لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيْهِ؟ قَالَتْ : نَعَمْ, قَالَ : فَاقْضُوْا اللهَ فَهُوَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ<br />
Dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi seraya berkata: Sesungguhnya saudariku bernadzar untuk haji tetapi dia meninggal dunia terlebih dahulu. Nabi bersabda: Seandainya dia punya hutang, apakah engkau akan melunasinya? Jawabnya: Ya. Nabi bersabda: Kalau begitu, penuhilah hutangnya kepada Allah karena itu lebih utama untuk dilunasi.<br />
SHAHIH. Diriwayatkan Bukhari 6699, Nasai 2633, Ahmad 1/239-240, 345, ath-Thayyalisi 2621, Ibnu Khuzaimah 4/346, ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 12332, 12443, 12444, Ibnu Jarud dalam al-Muntaqa 501, al-Baihaqi 4/335, Baghawi dalam Syarh Sunnah 7/28 dari jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.<br />
<br />
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ : إِنَّ أَبِيْ مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ : أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيْكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ :حُجَّ عَنْ أَبِيْكَ<br />
Dari Ibnu Abbas bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi seraya bertanya: Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan dia belum haji, aakah aku boleh haji untuknya? Nabi menjawab:Bagaimana pendapatmu seandainya ayahmu memiliki hutang, apakah engkau akan melunasinya? Jawabnya” Ya. Nabi bersabda: Kalau begitu, berhajilah untuk ayahmu. <br />
SHAHIH. Diriwayatkan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 3971-Ihsan-, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/221, ath-Thabrhani 12332 dari beberapa jalur dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas. <br />
Syaikh al-Albani berkata: “Sanad ini shahih, seluruh perawinya terpercaya, para perawi Bukhari Muslim”. (Silisilah ash-Shahihah 7/103).<br />
Dan diriwayatkan dengan lafadzh serupa oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 4/343-344 dan Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa 498 dengan sanad shahih dari jalur Hammad bin Zaid dari Abu Tayyah dari Musa bin Salamah dari Ibnu Abbas. <br />
<br />
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ سَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ, قَالَ : مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ : أَخٌ لِيْ أَوْ قَرَابَةٌ لِيْ, قَالَ : هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ؟ قَالَ : لاَ, قَالَ : فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْكَ ثُمَّ لَبِّ عَنْ شُبْرُمَةَ<br />
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi pernah mendengar seorang lelaki berkata: Ya Allah, aku penuhi panggilanMu untuk Syubrumah. Nabi bertanya: Siapakah Syubrumah? Jawabnya: Saudaraku atau kerabatku. Nabi bertanya lagi: Apakah kamu sudah pernah haji sebelumnya? Jawabnya: Belum. Nabi bersabda: Kalau begitu, maka jadikanlah ini untukmu kemudian tahun berikutnya untuk Syubrumah.<br />
SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 1811, Ibnu Majah 2903, Abu Ya’la 4/329, Ibnu Khuzaimah 4/345, Ibnu Hibban 962, ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 12/42-43, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/223, ad-Daraquthni 2/270, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa 499, al-Baihaqi 4/336 dari jalur Abdah bin Sulaiman dari Said bin Abu ‘Arubah dari Qhatadah dari Azrah dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas. <br />
Al-Baihaqi berkata: “Sanadnya shahih. Tidak ada sebuah hadits dalam bab ini yang lebih shahih darinya”. <br />
Dan diperselisihkan oleh para ulama apakah hadits marfu’ (sampai kepada Nabi) atau hanya mauquf sampai pada Ibnu Abbas saja. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis 3/836-838 memiliki pembahasan menarik tentangnya, dan beliau menyimpulkan keshahihannya. (Lihat pula Nashbur Rayah az-Zailai 3/155, Irwaul Ghalil al-Albani 4/171)<br />
<br />
Kedua: Hadits Abu Razin (Laqith bin Amir)<br />
<br />
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ الْعُقَيْلِيِّ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ : إِنَّ أَبِيْ شَيْخٌ كَبِيْرٌ لاَ يَسْتَطِيْعُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ وَلاَ الظَّعْنَ؟ قَالَ : حُجَّ عَنْ أَبِيْكَ وَاعْتَمِرْ<br />
<br />
Dari Abu Razin al-Uqaili bahwa beliau pernah datang kepada Nabi seraya berkata: Sesungguhnya ayahku telah lanjut usia, dia tidak mampu untuk berhaji, berumrah dan naik kendaraan. Nabi bersabda: Berangkatlah haji dan umrah untuk ayahmu . <br />
SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 1810, Nasai 2637, Tirmidzi 930, Ibnu Majah 2906, Ahmad 4/10,11, 12, ath-Thayyalisi 1091, Ibnu Khuzaimah 4/345-346, Ibnu Hibban 961, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa 500, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/123, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/221-222, ad-Daraquthni 2/183, al-Hakim 1/481, al-Baihaqi 4/329 dari beberapa jalur dari Syu’bah dari Nu’man bin Salim dari Amr bin Aus dari Abu Razin al-Uqaili.<br />
At-Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan Shahih”.<br />
Ad-Daraquthni berkata: “Seluruh perawinya terpercaya”. Dan disetujui oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lam Muwaqqi’in 6/325.<br />
Al-Hakim berkata: “Shahih, menurut syarat Bukhari Muslim”. Dan disetujui adz-Dzahabi!!<br />
Yang benar adalah menurut syarat Muslim saja, sebab Nu’man bin Salim bukanlah rawi Imam Bukhari. <br />
Imam Ahmad berkata -sebagaimana dinukil Ibnu Abdil Hadi dalam at-Tanqih-: “Saya tidak mengetahui hadits tentang wajibnya umrah, yang lebih bagus dan lebih shahih daripada hadits ini”.<br />
<br />
Ketiga: Hadits Buraidah<br />
<br />
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ : جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ : إِنَّ أُمِّيْ مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ, أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ, حُجِّيْ عَنْهَا <br />
<br />
Dari Buraidah berkata: Telah datang seorang wanita kepada Nabi dan berkata: Sesungguhnya ibuku meninggal dan belum haji, apakah saya menghajikan untuknya? Jawabnya: Ya. Hajilah untuknya.<br />
SHAHIH. Diriwayatkan Muslim 1149, Tirmidzi 929, Abu Dawud 2877 dari jalur Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah.<br />
Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”.<br />
Ibnu Qayyim berkata: “Hadits shahih”. (I’lam Muwaqqi’in 6/326)<br />
Demikianlah beberapa hadits yang shahih tentang masalah ini. Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits semakna dengannya, hanya saja secara sanad tidak luput dari pembicaraan ulama. Namun tidak masalah kalau kita sebutkan di sini secara ringkas :<br />
4. Anas bin Malik. (Riwayat Daruquthni 2/260, Thabrani 1/258)<br />
5. Ali bin Abi Thalib. (Riwayat Baihaqi 4/329)<br />
6. Abdullah bin Zubair dari Saudah bin Zam’ah. (Riwayat Ahmad 6/429, Nasai 2644, Baihaqi 4/329)<br />
7. Hushain bin Auf. (Riwayat Ibnu Majah 2908).<br />
Kesimpulannya, hadits tentang haji badal adalah hadits-hadits yang shahih tanpa keraguan di dalamnya. <br />
<br />
FIQIH HADITS<br />
Berbicara tentang haji badal, maka ada beberapa pembahasan dan hukum yang sangat penting untuk kita ketahui bersama. Oleh karenanya, agar lebih mudah memahami masalah ini, maka akan kita urut pembahasan ini satu persatu dalam beberapa point berikut:<br />
<br />
1. Bolehnya Haji badal<br />
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukan bolehnya seorang menghajikan kerabatnya, baik sudah meninggal dunia maupun masih hidup yang tidak mampu berangkat haji seperti karena usia lanjut, sakit yang tidak diharapkan sembuhnya, atau tidak kuat naik di atas kendaraan (seperti mabuk, mual -pent). (Syarh Muslim an-Nawawi 9/102). Dan pahalanya akan sampai untuk orang yang dihajikan. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/306-315 dan ar-Ruuh Ibnu Qayyim hal. 305-320). <br />
Imam Tirmidzi berkata: “Telah shahih banyak hadits dari Nabi tentang masalah ini. Inilah pendapat para ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi dan selainnya. Ini juga pendapat Tsauri, Ibnul Mubarak, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq, semuanya berpendapat bolehnya menghajikan orang yang sudah meninggal. Adapun Malik, beliau berkata: “Kalau memang dia berwasiat sebelumnya supaya dihajikan, maka dihajikan”. Sebagian mereka membolehkan untuk menghajikan orang yang masih hidup apabila telah lanjut usia atau keadaannya tidak memungkinkan untuk berangkat haji. Demikian pendapat Ibnul Mubarak dan Syafi’I”. (Tuhfatul Ahwadzi 3/807-808).<br />
Kalau ada yang berkata: Hal ini bertentangan dengan firman Allah:<br />
<br />
Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm: 39)<br />
Maka kita jawab:<br />
a. Tidak ada pertentangan antara Al-Qur’an dan hadits, sebab keduanya sama-sama wahyu dari Allah. Hadits Nabi itu merupakan penjelas Al-Qur’an, bukan penentang Al-Qur’an. Metode mempertentangan antara Al-Qur’an dan hadits bukanlah metode Ahli hadits, tetapi metode ahli bid’ah untuk menolak sunnah Nabi. Oleh karenanya, perhatikanlah para sahabat, para tabi’in dan para ulama salaf yang merupakan generasi yang paling faham terhadap Al-Qur’an, apakah mereka menolak hadits ini dengan alasan ayat di atas?!! Fahamilah!!<br />
<br />
b. Ayat yang mulia di atas hanya bersifat umum, yang dikecualikan/dikhususkan dengan hadits-hadits shahih di atas. (Nailul Authar 2/592 asy-Syaukani, Subulus Salam ash-Shan’ani 2/171). Al-Izzu bin Abdus Salam berkata dalam al-Fatawa 2/24: “Barangsiapa melakukan ketaatan untuk Allah kemudian dia menghadiahkan pahalanya untuk orang hidup atau mati, maka pahalanya tidak sampai kepadanya, karena manusia tidak memperoleh kecuali apa yang dia usahakan, kecuali apa yang dikecualikan oleh syari’at seperti shadaqoh, puasa dan haji”.<br />
<br />
c. Telah datang beberapa hadits yang menunjukkan bahwa seorang anak merupakan usaha terbaik bagi orang tua. Nabi bersabda:<br />
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ, وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ<br />
Sebaik-baik harta yang dimakan oleh seorang adalah dari hasil usahanya, dan anaknya termasuk hasil usahanya. (Hasan. Riwayat Ahmad 6/31, Abu Dawud 3528, Tirmidzi 1358, dll. Lihat Ahkamul Janaiz al-Albani hal. 217)<br />
Dengan demikian maka hadits ini tidak bertentangan sama sekali dengan ayat di atas, karena anak merupakan usaha terbaik orang tua.<br />
<br />
2. Kapan seorang boleh dihajikan?!<br />
Tidak semua orang boleh untuk diwakili hajinya. Namun harus diperinci sebagai berikut:<br />
Pertama: Kalau dia mampu untuk berangkat haji sendiri maka tidak boleh diwakili hajinya, bahkan kalau diwakili maka hajinya tidak sah. Imam Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat bahwa orang yang berkewajiban haji dan dia mampu melakukannya sendiri maka tidak boleh dihajikan orang lain dan tidak sah”. (Al-Ijma’ hal. 24, Al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22). Hal itu karena pada asalnya ibadah itu harus dilakukan oleh orang itu sendiri sebagai bentuk peribadahan kepada Allah. Dan menurut pendapat yang kuat, hal ini juga mencakup haji yang sunnah, bukan hanya wajib.<br />
<br />
Kedua: Kalau dia tidak mampu untuk berangkat haji, maka hal ini diperinci lagi: <br />
1. Kalau memang kemungkinan besar akan hilang penghalang tersebut maka sebaiknya ditunggu sehingga dia melakukannya sendiri, seperti kemiskinan, gila, sakit yang diharapkan kesembuhannya, dipenjara dan sebagainya. Contoh: Seorang terkena penyakit yang kemungkinan besar akan sembuh di kemudian hari, maka kita katakan kepadanya: Tunggulah sehingga Allah menyembuhkanmu dan berangkatlah haji sendiri. Kalau memungkinkan pada tahun ini maka itulah yang dicari, tetapi kalau tidak memungkinkan maka tidak mengapa pada tahun-tahun berikutnya. <br />
2. Kalau kemungkinan besar penghalangnya tidak hilang seperti lanjut usia atau sakit parah yang tidak diharapkan bisa sembuh, maka di sinilah dia hendaknya mewakilkan orang lain untuk menghajikannya. (Lihat Fiqih Ibadat Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 336, al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22-23, Fathul Bari Ibnu Hajar 4/91)<br />
<br />
3. Syarat orang yang menghajikan<br />
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi bagi orang yang menghajikan, baik syarat umum maupun syarat khusus. <br />
Adapun syarat umum, yakni syarat-syarat yang umum bagi semua orang yang menunaikan haji, bahkan dalam semua ibadah. Hal ini telah terkumpul dalam sebuah bait berikut:<br />
الْحَجُّ وْالْعُمْرَةُ وَاجِبَانِ فِي الْعُمْرِ مَرَّةً بِلاَ تَوَانِيْ<br />
بِشَرْطِ إِسْلاَمٍ كَذَا حُرِيَّةْ عَقْلٍ بُلُوْغٍ قُدْرَةٍ جَلِيَّةْ<br />
<br />
Haji dan umrah hukumnya wajib<br />
Sekali dalam seumur hidup tanpa menunda-nunda<br />
Dengan syarat Islam, demikian pula bebas <br />
Berakal, baligh, dan mampu .<br />
Sedangkan syarat khusus yang kami maksud adalah sebagai berikut:<br />
Pertama: Ketika ihram, dia meniatkan hajinya untuk orang yang dihajikan. Jadi dia tidak berniat untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain yang akan dia hajikan, seperti mengatakan: Labbaika an fulan (Kami penuhi panggilanMu untuk si fulan -menyebut namanya-). Syarat ini telah disepakati oleh semua ulama, beradasarkan hadits:<br />
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ<br />
Sesungguhnya semua amalan itu harus dengan niat. (Bukhari 1 Muslim 1907)<br />
<br />
Kedua: Dia sudah pernah melakukan kewajiban haji untuk dirinya sendiri , berdasarkan hadits “Syubrumah” dalam riwayat Ibnu Abbas di atas. Hal ini merupakan madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah. <br />
Adapun madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah, mereka berpendapat tidak disyaratkan harus haji terlebih dahulu, berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang wanita yang bertanya untuk menghajikan ayahnya, dimana Nabi tidak bertanya terlebih dahulu kepadanya: Apakah engkau sudah pernah haji untuk dirimu sendiri?! <br />
Syaikh as-Syinqithi berkata dalam Adhwa’ul Bayan 5/108: “Pendapat yang lebih kuat menurutku adalah mendahulukan hadits yang lebih khusus yaitu kisah Syubrumah, karena di sini dalil umum berbenturan dengan dalil khusus, maka yang khusus lebih didahulukan. Jadi seorang tidak boleh menghajikan orang lain sehingga dia menunaikan kewajiban hajinya terlebih dahulu”. Apalagi hal ini didukung dengan keumuman sabda Nabi:<br />
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ<br />
Dahulukanlah dirimu terlebih dahulu. (Muslim 997)<br />
Adapun jawaban terhadap alasan yang digunakan madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah: Kita bawa hadits tersebut bahwa Nabi telah mengetahui kalau wanita tersebut sudah menunaikan kewajiban hajinya. Hal ini kita lakukan untuk mengkompromikan antara beberapa dalil, sekalipun kita tidak tahu secara pasti akan hal itu. Demikian kata al-Kamal Ibnu Humam dalam Fathul Qadir 2/317. Apa yang dikatakan Ibnu Humam tidak jauh dari kebenaran, sebab dalam sebagian lafadz hadits, disebutkan bahwa wanita tersebut bertanya pada hari nahr (10 dzul hijjah), maka bisa jadi beliau bertanya kepada Nabi untuk menghajikan orang tuanya pada tahun berikutnya, dan dia sudah berhaji pada tahun itu. Wallahu A’lam.<br />
<br />
Ketiga: Ikhlas dan bukan karena mencari dunia. Barangsiapa berangkat haji untuk mengharap dunia dan harta, maka hukumnya haram. Tidak halal baginya melakukan amalan akherat dengan niat untuk meraih dunia , berdasarkan firman Allah:<br />
<br />
(QS. Hud: 15-16)<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hendaknya dia mengambil uang untuk berangkat haji, bukan berangkat haji untuk mengambil uang. Barangsiapa haji dengan tujuan untuk mengambil uang, maka tiada bagian baginya di akherat kelak. Adapun barangsiapa mengambil uang sekedarnya dengan tujuan untuk berangkat menghajikan saudaranya, maka hukumnya boleh”. (Lihat Majmu Fatawa 26/14-20).<br />
<br />
Keempat: Apakah harus anaknya sendiri?!<br />
Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa yang boleh menghajikan orang lain itu hanya khusus anaknya sendiri. al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/90 berkata: “Tidak ragu bahwa hal ini merupakan kejumudan”, sebab dalam hadits syubrumah misalkan, dia menghajikan “saudara atau kerabatnya”. Demikian juga dalam sebagian lafadz hadits Ibnu Abbas disebutkan: “saudariku”. Apalagi Nabi telah menggambarkannya sebagai hutang, yang itu bisa dibayar oleh siapapun, baik anak, kerabat, maupun selainnya. <br />
Berkata Majd bin Taimiyyah: “Hadits ini menunjukkan sahnya menghajikan orang yang telah meninggal dunia, baik yang menghajikan itu ahli warisnya ataukah tidak, sebab Nabi tidak memerinci dan bertanya kepada penanya: Apakah engkau termasuk ahli warisnya ataukah tidak? Demikian pula Nabi memper-umpamakannya dengan hutang”. Dan telah mapan dalam kaidah ushul fiqih:<br />
تَرْكُ الاِسْتِفْصَالِ فِيْ مَقَامِ الاِحْتِمَالِ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الْعُمُوْمِ <br />
Tidak memerinci dalam keadaan yang masih mengandung kemungkinan dihukumi umum. <br />
(Lihat Nailul Authar asy-Syaukani 2/592-593)<br />
<br />
Kelima: Harus dari tempat orang yang dihajikan?! <br />
Gambaran masalahnya sebagai berikut: Kalau orang yang dihajikan ada di Indonesia misalnya, sedangkan yang mau menghajikan sedang berada di Saudi Arabia. Apakah berangkat hajinya dari Indonesia sehingga dia pulang ke Indonesia terlebih dahulu, ataukah cukup dari Miqat terdekat di Saudi Arabia?! Sebagian ulama mengatakan harus dari Indonesia, sebab dia menggantikan seorang yang seandainya dia berangkat, maka berangkat dari Indonesia. Ini merupakan pendapat Hanabilah. (Ar-Raudh Murbi’ al-Buhuthi 5/34). <br />
Adapun para ulama lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu tidak perlu, karena itu hanya sekedar wasilah (perantara) saja, bukan tujuan utama. Inilah pendapat yang lebih kuat. Allahu A’lam. Masalah ini sama persis dengan seorang yang berada di masjid menjelang waktu shalat, apakah akan kita katakan: Pulanglah terlebih dahulu ke rumahmu, kemudian datanglah ke masjid untuk memenuhi panggilan shalat?!! (Lihat Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/34).<br />
<br />
4. Wanita boleh menghajikan pria dan sebaliknya<br />
Hal ini sangat nyata dalam hadits Ibnu Abbas tentang pertanyaan wanita dari Khts’am. Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat bahwa hajinya seorang lelaki untuk wanita atau seorang wanita menghajikan lelaki hukumnya adalah sah. Hasan bin Shalih bersendirian tatkala dia berpendapat bahwa hal itu dibenci”. (Al-Ijma’ hal. 24).<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Wanita boleh menghajikan wanita lainnya dengan kesepakatan ulama, baik putrinya sendiri atau selainnya. Demikian juga wanita boleh menghajikan pria menurut imam empat dan mayoritas ulama”. (Majmu’ Fatawa 26/13-14).<br />
<br />
5. Bila meninggal dunia sebelum haji<br />
Apabila ada seorang berkewajiban haji lalu meninggal dunia sebelum berangkat haji, maka apakah wajib untuk dihajikan oleh kerabatnya dengan uang peninggalannya?! Masalah ini di perselisihkan ulama:<br />
Madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan wajib dihajikan, baik dia berwasiat maupun tidak, sebab itu adalah hutang yang harus dibayar berdasarkan hadits-hadits pembahasan di atas.<br />
Adapun madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah, mereka mengatakan: Kewajibannya telah gugur, berdasarkan firman Allah: “<br />
<br />
Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm: 39)<br />
Alasan lainnya, karena haji adalah ibadah badan yang gugur dengan kematian seperti shalat.<br />
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, sebab hadits-hadits di atas mengkhususkan keumuman ayat al-Qur’an, adapun menyamakan dengan shalat maka sungguh sangat jauh sekali, sebab shalat adalah ibadah yang tidak bisa diwakilkan, berbeda dengan haji.<br />
Adapun apabila dia meninggal dunia ketika tengah melakukan manasik haji, maka menurut pendapat yang kuat tidak perlu diteruskan/disempurnakan manasiknya, berdasarkan hadits tentang seorang muhrim yang terlempar untanya ketika wuquf di Arafah (Bukhari 1265 Muslim 1206). Dan tidak ada penukilan dari Nabi bahwa beliau memerintahkan kepada para sahabat agar menyempurnakan ihramnya.<br />
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami kemukakan. Bila ada pendapat yang lemah maupun kesalahan dalam tulisan ini, maka kami sangat menunggu teguran dan nasehatnya. Wallahu Al-Muwaffiq.<br />
<br />
I’lam Muwaqqi’in 6/326<br />
dan Ahkam Jana<br />
</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-76817684923721047972009-09-26T16:43:00.004+07:002009-11-04T01:10:26.252+07:0010 FAEDAH TENTANG JENAZAHOleh Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi<br />
<br />
PENGUMUMAN KEMATIAN<br />
<br />
Al-Hafizh Ibnul Mulaqqin berkata: Mengumumkan kematian seorang terbagi menjadi dua macam:<br />
Pertama: Pengumuman dengan tujuan agama, seperti untuk memperbanyak jama'ah guna mendapatkan doa mereka, memperoleh kesempurnaan bilangan yang dijanjikan untuk diterima doa mereka yaitu empat puluh dan seratus orang, atau bertujuan agar orang-orang mengantarkan jenazahnya dan menunaikan haknya.<br />
Makna ini telah disinyalir dalam sabda Nabi: "Kenapa kalian tidak memberitahuku tentang kematiannya?", dan beliau juga mengkhabarkan kematian para komandan perang Mu'tah, yaitu Ja'far, Ziad bin Haritsah dan Abdullah bin Rowahah.<br />
Kedua: Pengumuman ala Jahiliyyah yang berisi menyebutkan kebaikan-kebaikan si mayit dan menampakkan kesedihan dan memperbesar keadaan kematiannya.<br />
Hal ini diambil dari larangan Nabi tentang mengumumkan kematian sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dan beliau menshahihkannya.<br />
Jenis pertama hukumnya sunnah dan kedua adalah haram. Perincian ini merupakan konsekwensi hadits-hadits shahih tentang masalah ini. (Al-I'lam bi Fawaid Umdatil Ahkam 4/387-388)<br />
<span class="fullpost"><br />
MELEPAS IKATAN KAFAN<br />
<br />
Para ulama madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn1" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title="">[1]</a> bersepakat mengatakan bahwa disunnahkan melepas ikatan di bagian kepala dan kaki ketika mayit diletakkan di kuburnya. Hal yang mendasari mereka untuk mengatakan sunnah adalah sebagai berikut:<br />
Pertama: Diriwayatkan bahwa Nabi tatkala memasukkan Nu'aim bin Mas'ud ke kubur, beliau melepas ikatannya dengan mulutnya<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn2" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title="">[2]</a>.<br />
Kedua: Perbuatan para sahabat dan tabi'in, seperti diriwayatkan dari Samuroh bin Jundub, Abu Hurairah, Sya'bi, Ibrahim an-Nakhai, Dhohak, Hasan Bashri, Ibnu Sirin dan sebagainya<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn3" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title="">[3]</a> Ketiga: Tujuan mengikat kafan adalah karena khawatir terbuka, sedangkan kekhawatiran itu tidak perlu lagi ketika mayit telah dikuburkan.<br />
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Demikianlah yang afdhol (melepas ikatan kafan) berdasarkan perbuatan para sahabat". (Majmu Fatawa 13/195) Bahkan, sebagian ulama mengatakan: "Seandainya ikatan kafan lupa dilepas, maka boleh untuk menggali lagi kuburannya guna melepas kafan tersebut". (Kasyaful Qona' 2/107)<br />
Adapun membuka sebagian wajah mayit, maka hal itu tidak disunnahkan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Apalagi membuka seluruh wajah mayit, maka hal itu tidak ada asalnya dalam agama. (Syarh Mumti' 5/363)<br />
<br />
"AL-MARHUM", BOLEHKAH?!<br />
<br />
Sering kita mendengar dan membaca ucapan mereka: "Si fulan Al-Marhum" (yang dirahmati). Apakah kata seperti terlarang ataukah boleh?! Jawabnya diperinci sebagai berikut:<br />
Pertama: Apabila maksud pelontarnya dengan kata tersebut adalah sebagai bentuk khabar, maka hukumnya tidak boleh, sebab dia tidak tahu apakah si mayit tersebut betul-betul mendapatkan rahmat ataukah tidak, sedangkan tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan persaksian tentang sesuatu yang tidak dia ketahui.<br />
Kedua: Apabila maksudnya adalah sebagai doa dan harapan semoga Allah merahmatinya, maka hukumnya boleh, karena kata ini bisa bermakna doa.<br />
Jadi, hukumnya kembali kepada niat sang pelontar, hanya saja biasanya maksud pelontar dengan kata ini adalah doa dan harapan, sehingga hukumnya adalah boleh.<br />
Perincian ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Majmu' Fatawa 17/451-452 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sebagaimana dinukil oleh murid beliau, Masyhur Hasan Salman dalam Ta'liq kitab Dzul Qornain wa Sadduu Shin, karya Muhammad Raghib ath-Thobbakh hal. 128 <br />
<br />
<br />
CERAMAH DI KUBURAN<br />
<br />
Menyampaikan ceramah dan nasehat di kuburan diperinci sebagai berikut:<br />
Pertama: Menyampaikan ceramah ketika ziarah kubur. Hukumnya adalah bid'ah tercela, tidak ada tuntunannya, sebab tidak pernah Nabi mengumpulkan manusia di kuburan untuk berceramah di sana, bahkan beliau hanya mengucapkan salam, doa kemudian pulang. Ibnul Haj berkata: "Termasuk bid'ah adalah perbuatan sebagian penceramah di kuburan pada malam bulan purnama". (Al-Madkhol 1/268)<br />
Kedua: Menyampaikan ceramah nasehat saat menguburkan mayit. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib (HR. Bukhari 1362 Muslim 2647). Imam Bukhari membuat bab hadits ini "Bab ceramah di kubur dan duduknya para sahabatnya di sekitarnya". Al-Aini berkata: "Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya duduk di kuburan dan menyampaikan ilmu dan nasehat di sana". (Umdatul Qori 8/198)<br />
Jadi, boleh menyampaikan nasehat dan ceramah di kuburan, tetapi hal itu kadang-kadang saja, tidak dilakukan terus-menerus, sebab petunjuk Nabi dan para salaf yang sering adalah mereka diam dan berfikir tentang kematian. Kalau memang di sana ada ceramah, maka perlu diperhatikan dua hal:<br />
1. Janganlah ceramahnya tersebut menyibukkan manusia dari menunaikan hak si mayit dan mendoa'akannya karena hal itu lebih dibutuhkan mayit<br />
2. Janganlah menyebutkan hal-hal yang dapat menambah kesedihan atau meratapi mayit. (Ahkamul Maqobir fi Syari'ah Islamiyyah, Dr. Abdullah bin Umar as-Sahyibani hal. 399-400)<br />
<br />
BID'AH-BID'AH<br />
SEPUTAR JENAZAH<br />
<br />
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam penutup kitabnya yang bermanfaat<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn4" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title="">[4]</a> "Ahkamul Janaiz" hal. 305-336 mencantumkan bab khusus mengenai bid'ah-bid'ah seputar jenazah. Diantara bid'ah dan penyimpangan yang beliau sebutkan adalah sebagai berikut:<br />
1. Meletakkan mushaf di bagian kepala orang yang akan meninggak dunia<br />
2. Membawa bunga dan foto mayit di depan jenazah<br />
3. Usai menshalati jenazah, sebagian orang mengatakan: "Apa yang kalian saksikan tentang mayit ini?" Lalu para hadirin menjawab: "Dia termasuk orang shalih" dan sejenisnya<br />
4. Adzan ketika memasukkan mayit di kuburnya<br />
5. Mengukir nama mayit dan tanggal kematiannya.<br />
<br />
<br />
KETIKA MENGANTAR JENAZAH <br />
<br />
Al-Hafizh an-Nawawi berkata: "Dianjurkan bagi seorang saat berjalan mengantar jenazah untuk menyibukkan diri dengan dzikrullah dan memikirkan kesudahan orang yang mati dan mengingat bahwa demikianlah akhir kehidupan dunia dan tempat kembali ahli dunia.<br />
Jangan sekali-kali dia membicarakan sesuatu yang tidak ada faedahnya, karena waktu ini adalah waktu untuk berfikir dan berdzikir. Sangat jelek sekali senda gurau, ngobrol yang sia-sia dan sebagainya. Kalau hal itu tercela dalam setiap keadaan, lantas bagaimana dalam keadaan seperti ini?!<br />
Ketahuilah bahwa pendapat benar dari petunjuk para salaf adalah diam ketika mengantar jenazah, tidak mengeraskan suara, baik dengan membaca Al-Qur'an, dzikir maupun lainnya. Hikmahnya sangat jelas sekali, karena hal itu sangat menenangkan hati dan memusatkan pikiran untuk memiikirkan masalah jenazah yang sangat dituntut dalam keadaan ini.<br />
Demikianlah pendapat yang benar, janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihinya. Abu Ali Fudhail bin Iyadh pernah berpesan: "Tapakilah jalan petunjuk dan janganlah engaku sedih dengan sedikitnya orang yang meniti di atasnya! Waspadalah dari jalan-jalan kesesatan dan jangan tertipu dengan banyaknya orang yang terjerumus di dalamnya!"<br />
Adapun perbuatan orang-orang jahil berupa membacakan untuk jenazah di Damaskus maupun selainnya dengan lagu-lagu yang keluar dari kaidah tajwid, maka semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama'. (Al-Adzkar 1/423-424, tahqiq Salim al-Hilali)<br />
<br />
GIGI EMAS<br />
<br />
Soal: Kalau ada orang meninggal dunia dan salah satu giginya ada yang dari emas, apakah gigi emasnya dibiarkan saja ataukah dicabut? Bagaimana kalau seandainya dicabut malah membahayakan gigi-gigi lainnya?!<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:<br />
Pertama: Hendaknya kita ketahui terlebih dahulu bahwa menggunakan gigi emas hukumnya tidak boleh kecuali kalau memang dibutuhkan, maka tidak boleh menggunakan gigi emas untuk perhiasan, kecuali bagi wanita kalau hal itu dianggap sebagai perhiasan dalam adat setempat, adapun bagi kaum pria maka tidak boleh selama-lamanya kecuali jika ada kebutuhan.<br />
Kedua: Apabila ada seorang meninggal sedangkan dia memiliki gigi emas, maka diperinci:<br />
1. Kalau memang bisa dicabut tanpa merusak maka hendaknya dicabut, karena hak miliknya telah berpindah pada ahli waris<br />
2. Adapun kalau tidak mungkin untuk dicabut kecuali dengan merusak dan merontokkan gigi-gigi lainnya, maka hendaknya dibiarkan terlebih dahulu dan dikubur. Kemudian ditunggu sampai kira-kira mayit tersebut sudah hancur, setelah itu tergantung ahli waris; kalau mereka mau merelakan maka dibiarkan, tetapi kalau mereka mau mengambilnya maka boleh baginya untuk menggali kuburnya dan mengambil gigi emas tersebut agar tidak menyia-nyiakan harta. (Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 17/88)<br />
<br />
ZIARAH KUBUR<br />
<br />
Ziarah kubur terbagi menjadi dua macam:<br />
Pertama: Ziarah Syar'i, yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk mendo'akan mayit. Dan faedah ziarah ini ada dua macam:<br />
Bagi orang yang berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akherat sekaligus menuai pahala. Hal ini mencakup ziarah ke kuburan muslim maupun kafir<br />
Bagi mayit yang diziarahi adalah mendapatkan doa dari saudaranya muslim. Hal ini khusus untuk ziarah kuburan muslim saja<br />
Kedua: Ziarah bid'ah, yaitu ziarah dengan tujuan untuk meminta kebutuhan kepada si mayit, meminta doa dan syafa'at kepadanya, atau bermaksud doa di sana dengan keyakinan bahwa hal itu akan menjadikan doanya lekas terkabul.<br />
Ziarah dengan tujuan seperti ini adalah bid'ah, tidak pernah disyari'atkan oleh Nabi dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, baik di kuburan Nabi atau kuburan lainnya. Semua ini adalah termasuk bentuk kesyirikan atau perantara menuju kesyirikan. (Qo'idah Jalilah fi Tawassul wal Wasilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 32-34)<br />
<br />
WAFAT DI TANAH SUCI<br />
<br />
Ketahuilah bahwa semua hadits berkaitan tentang keutamaan wafat di tanah haram semuanya tidak shohih dari Nabi, seperti hadits:<br />
مَنْ مَاتَ فِيْ أَحَدِ الْحَرَمَيْنِ بَعَثَهُ اللهُ مِنَ الآمِنِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ<br />
Barangsiapa yang meninggal dunia di salah satu haram (Mekkah dan Madinah), niscaya Allah akan membangkitkannya termasuk orang-orang yang aman pada hari kiamat.<br />
Hadits ini lemah ditinjau dari segi sanad dan matan-nya:<br />
1. Sanadnya, Diriwayatkan ath-Thoyyalisi dalam Musnadnya 65 dari Siwar bin Maimun dari seorang lelaki dari keluarga Umar dari Umar dari Nabi.<br />
Sanad ini lemah, sebab ada seorang rawi yang tidak disebut namanya. Demikian juga Siwar bin Maimun seorang yang tidak dikenal. Hadits ini dilemahkan oleh al-Hafidh Ibnu Abdil Hadi dalam ash-Sharimul Munki hal. 87. <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn5" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title="">[5]</a><br />
2. Matan-nya, "Dan hadits seperti ini tidak shahih selama-lamanya, karena bertentangan dengan Al-Qur'an, sunnah dan ijma umat bahwa sekedar meninggal di tanah haram tidaklah dapat menyelamatkan seseorang dari siksa dan menjamin keamanan darinya.<br />
Tentang masalah ini, saya teringat bahwa saya pernah menghadiri suatu pengajian di kampung saya, dalam pengajian tersebut sang dai menceritakan suatu pengalaman lucu ketika hajinya, dia berkata bahwa suatu ketika dia di Madinah ketemu seseorang nenek tua yang ketinggalan keloter, tanyanya: "Ibu, kok belum pulang?!" Jawab si nenek: "Sengaja pak, saya ingin meninggal di sini". Maka dengan senda gurau, si dai itu berkata: "Bu, kalau meninggal di sini, malaikatnya nanti tanyanya dengan bahasa Arab!". Akhirnya, si nenek itu karena merasa tidak bisa bahasa Arab mengatakan: "Kalau gitu, saya ingin pulang aja". Wallahul Musta'an.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn6" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title="">[6]</a><br />
<br />
KEMATIAN<br />
<br />
<span style="font-size: 130%;">كُلُّ امْرِئٍ مُصَبَّحٌ فِيْ أَهْلِهِ وَالْمَوْتُ أَدْنَى مِنْ شِرَاكِ نَعْلِه</span><br />
Semua orang menghadapi kematian di pagi hari<br />
Dan kematian lebih dekat dari tali sandalnya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn7" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title="">[7]</a><br />
<span style="font-size: 130%;">فَلَوْ أَنَّا إِذَا مِتْنَا تُرِكْنَا لَكَانَ الْمَوْتُ رَاحَةَ كُلِّ حَيِّ<br />
وَ لَكِنْ إِذَا مِتْنَا بُعِثْنَا وَ نُسْأَلُ بَعْدَهُ عَنْ كُلِّ شَيِّ</span><br />
Seandainya apabila kita telah mati, kita dibiarkan<br />
Niscaya kematian melegakan orang yang hidup<br />
Namun bila kita mati, kita akan dibangkitkan kembali<br />
Dan ditanya tentang segala sesuatu setelah itu.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn8" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title="">[8]</a><br />
<span style="font-size: 130%;">كُلُّ ابْنِ أُنْثَى وَإِنْ طَالَتْ سَلاَمَتُهُ يَوْمًا عَلَى آلَةٍ حَدْبَاءَ مَحْمُوْلُ</span><br />
Semua anak manusia, sekalipun berumur panjang<br />
Suatu hari dia pasti akan dibawa di atas alat usungan mayat.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn9" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title="">[9]</a><br />
<br />
<span style="font-size: 130%;">اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ<br />
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ</span><br />
Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat<br />
Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.<br />
Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.<br />
Jiwanya yang sehat melayang cepat<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftn10" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title="">[10]</a>.<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref1" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title="">[1]</a> Lihat ad-Durrul Mukhtar 2/236, Mawahibul Jalil 2/226, al-Umm 1/471, Al-Mughni 3/434<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref2" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title="">[2]</a> HR. Abu Dawud dalam al-Marosil 419 dan al-Baihaqi dalam Sunan Kubro 3/407 secara mursal. Dan dalam al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 3/326: "Kami mengira dia mendengarnya dari Ma'qil".<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref3" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title="">[3]</a> Lihat Sunan Kubro al-Baihaqi 3/371 dan Al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 3/326<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref4" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title="">[4]</a> Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad pernah berkata dalam pelajaran Sunan Abu Dawud: "Saya tidak mendapati sebuah kitab tentang masalah jenazah yang lebih bagus dari kitab Ahkamul Janaiz karya Syaikh al-Albani". Dan kami sering mendengar para masayikh kami, murid-murid Syaikh Ibnu Utsaimin memuji kitab ini dan menganjurkan untuk membacanya. Semoga Allah memberkahi mereka semua.<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref5" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title="">[5]</a> Irwaul Ghalil: 1127<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref6" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title="">[6]</a> lihat Mengkritisi Hadits-Hadits Populer oleh penulis. (masih berupa manuskrip -semoga Allah memudahkan penerbitannya-)<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref7" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title="">[7]</a> Ucapan Abu Bakar ash-Shiddiq. Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar 7/308 dan Akhbar Mekkah al-Azraqi 2/154<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref8" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title="">[8]</a> Ucapan Ali bin Abi Thalib sebagaimana dalam al-Mausu'ah Syi'riyyah hal. 461, atau ucapan Amir Ibnu Dulf sebagaimana dalam al-Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir 10/294 dan al-Wafii fil Wafayat Ibnu Khallikan 1/3208<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref9" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title="">[9]</a> Ucapan Ka'ab bin Zuhair sebagaimana dalam Bahjatul Majalis 3/324<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2267301008471231471#_ftnref10" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title="">[10]</a> Ucapan Imam Bukhori sebagaimana dalam Hadyu Sari Ibnu Hajar hal. 481.</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2267301008471231471.post-79787454823198808942009-09-26T16:24:00.004+07:002009-11-04T01:16:33.575+07:00WASPADA TERHADAP KISAH-KISAH TAK NYATAOleh Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi<br />
<br />
<br />
Membaca kisah, memang asyik dan menyenangkan... penuh dengan ibrah dan pelajaran, apalagi kisah para nabi dan orang-orang shalih, tentulah sarat dengan mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Tentang kisah para nabi, Alloh berfirman:<br />
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَاب<br />
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111)<br />
Adapun kisah orang-orang shalih, Imam Sufyan As Tsauri berkata: “Ketika membicarakan kisah mereka, turunlah rahmat ( Alloh )”.<br />
Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:<br />
كَرِّرْ عَلَيَّ حَدِيْثَهُمْ يَاحَادِيْ فَحَدِيْثُهُمْ يُجْلِىْ الْفُؤَادَ الصَّاوِيَ<br />
Ceritakanlah kepadaku tentang kisah mereka wahai shahabatku...<br />
Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku...<span class="fullpost"><br />
<br />
Pengetahuan tentang kisah memang asyik lagi menarik. Tetapi sayang, pengetahuan yang mulia ini ternodai oleh goresan tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memutarbalikkan fakta sejarah yang sebenarnya, lalu menebarkan kisah-kisah yang tidak shahih. Ironisnya, justru kisah-kisah itulah yang banyak beredar, laris manis, dan banyak dikomsumsi masyarakat.<br />
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, akan kami paparkan sebagian kisah-kisah yang tidak shahih sebagai peringatan untuk kita semua.<br />
<br />
1. Kisah Tsa’labah bin Hatib z/<br />
Ringkas ceritanya: “Tsa`labah z/ adalah seorang sahabat yang fakir tetapi rajin beribadah. Suatu saat ia memohon kepada Nabi n/ agar mendo’akannya supaya dikaruniai rizki. Nabi n/ pun mendo’akannya. Walhasil, dia bekerja sebagai penggembala kambing. Waktu demi waktu berlalu, akhirnya ternaknya berkembang dengan pesat sekali. Lambat laun hal itu melalaikannya dari shalat... dan seterusnya sampai akhir kisah.”<br />
Kisah ini sangat masyhur, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsirnya (14/370), Ath-Thabrani dalam Mu‘jamul Kabir (8/260) no. 7873 dan Al-Wahidi dalam Asbabul Nuzul hal 252. Semuanya dari jalan Mu’an bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid Al-Alhani dari Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Bahili z/.”<br />
Kisah ini MUNGKAR. Sebabnya adalah:<br />
1. Mu’an bin Rifa’ah seorang rawi yang lemah. Ibnu Ma’in berkata, “Lemah.” Al-Juzajani berkata, “Tidak dapat dijadikan hujjah.” Ibnu Hibban berkata, “Munkarul hadits.” Adz-Dzahabi berkata, “Tidak kuat.” Ibnu Hajar berkata, “Haditsnya lemah dan dia sering memursalkan hadits.” (lihat Mizanul I’tidal (6/455) oleh Adz-Dzahabi; Tahdzib Tahdzib (5/455), Taqrib Tahdzib oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani)<br />
2. Ali bin Yazid Al-Alhani seorang rawi yang lemah juga. Imam Bukhari berkata, “Munkar hadits.” Nasai berkata, “Tidak dipercaya.” Abu Zur’ah berkata, “Tidak kuat.” Daruquthni berkata, “Matruk (ditinggalkan).” Ibnu Hajar menyimpulkan, “Dha’if (lemah).” (Lihat Mizanul I’tidal (5/196) dan Taqrib Tahdzib hal. 953)<br />
Komentar ulama tentang kisah ini:<br />
a. Ibnu Hazm (wafat: 456H) berkata dalam Al-Muhalla (12/137), “Tidak ragu lagi bahwa kisah ini adalah batil. Tsa’labah z/ termasuk sahabat pengikut perang Badar yang masyhur.”<br />
b. Al-Baihaqi (wafat: 458 H) berkata, “Sanad hadits ini perlu dikaji ulang lagi, sekalipun masyhur di kalangan ahli tafsir.” (Lihat Faidhul Qadir (4/ 667) oleh Al-Munawi)<br />
c. Al-Qurthubi (wafat: 671 H) berkata dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (8/133), “Tsa‘labah z/ termasuk sahabat yang mengikuti perang Badar, termasuk golongan Anshar dan orang-orang yang mendapatkan pujian dari Alloh dan RasulNya n/. Adapun hadits ini tidak shahih.”<br />
d. Adz-Dzahabi (wafat: 748 H) berkata dalam Tajrid Asma Shahabah (1/66), “Mungkar sekali.”<br />
e. Al-Iraqi (wafat: 806 H) berkata dalam Takhrij Ihya’ (3/338), “Sanadnya lemah.”<br />
f. Al-Haitsami (wafat: 807 H) berkata dalam Majma’uz Zawaid (7/108), “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani tetapi dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ali bin Yazid Al-Alhani, dia matruk (ditinggalkan haditsnya).”<br />
g. Ibnu Hajar (wafat: 852 H) berkata dalam Fathul Bari (3/266), “Hadits ini lemah, tidak dapat dijadikan hujjah.”<br />
h. As-Suyuthi (wafat: 911 H) berkata dalam Lubab Nuqul ‘an Asbab Nuzul (121), “Diriwayatkan oleh Thabrani, Ibnu Mardawih, Ibnu Abi Hatim, dan Baihaqi dalam Dala’il dengan sanad yang lemah.”<br />
i. Al-Albani berkata dalam Silsilah Dha’ifah (1607), “Hadits ini mungkar, sekalipun sangat masyhur. Kecacatannya terletak pada Ali bin Yazid Al-Alhani, dia seorang yang matruk. Dan Mu’an juga seorang yang lemah.”<br />
Ada satu hal lagi yang memperkuat mungkarnya kisah ini, bahwasanya shahibul kisah, Tsa’labah bin Hatib, termasuk pengikut perang Badar sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Mandah, Abu Nu’aim, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Atsir dalam Usdul Ghabah 1/237.<br />
Kalau sudah terbukti bahwa Tsa’labah termasuk pengikut perang Badar, apakah seperti ini sifat seorang sahabat yang mengikuti perang Badar? Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Ishabah 1/198, telah shahih bahwa Nabi n/ bersabda:<br />
لاَيَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَّةَ<br />
Tidak masuk neraka orang yang mengikuti perang Badar dan Hudaibiyah.<br />
Dan beliau juga menceritakan bahwa Rabbnya berfirman:<br />
اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ<br />
Berbuatlah sekehendak kalian. Sungguh Aku telah mengampuni kalian.<br />
Apakah seorang yang dijamin dengan pahala seperti ini lalu menjadi munafik? Dan turun kepadanya ayat tersebut?<br />
<br />
2. Kisah Al-Qamah Bersama Ibunya<br />
Ringkas ceritanya kurang lebih sebagai berikut: “Al-Qamah adalah seorang ahli ibadah. Tatkala dia dalam sakaratul maut, lidahnya tidak dapat mengucapkan kalimat La Ilaha illalloh. Rasul n/ pun mendatanginya seraya bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah ibunya masih hidup?” Jawab mereka, “Masih.” Sang ibu pun dihadirkan, lantas menjelaskan bahwa dirinya telah mengutuk si anak (Al-Qamah) disebabkan dia lebih mengutamakan istrinya daripada dirinya. Nabi n/ meminta kepada sang ibu untuk mencabut kutukannya. Namun dia tidak bersedia, lantaran sudah kadung (terlanjur–red) sakit hati. Akhirnya Nabi n/ pun menyuruh para sahabatnya agar mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Al-Qamah, supaya lekas mati. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, dia tak tega putranya mengalami nasib seperti itu, lalu mencabut kutukannya. Sedetik kemudian Al-Qamah mampu mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Lalu wafatlah dia.”<br />
Kisah ini sangat masyhur dan laris, dipasarkan oleh para khatib di mimbar-mimbar, dan masyhur disampaikan di sekolah-sekolah terutama dalam buku-buku kurikulum atau dalam acara bid’ah yang biasa disebut sebagai Hari Ibu setiap tanggal 21 Maret (di Mesir).<br />
Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (3/87). Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir (3/461), Al-Khara’iti dalam Masawi’ Al-Ahlaq, Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana disebutkan Imam Suyuthi dalam Al-‘Ali Al-Mashnu’ah (2/296).<br />
Kisah ini BATIL. Sebab, kisah ini diriwayatkan dari jalan Faid Abu Warqa’ dari Abdullah bin Abi Aufa. Berikut, sekilas komentar ulama tentangnya:<br />
Imam Ahmad berkata, “Matruk.” Ibnu Ma’in berkata, “Lemah dan tidak dipercaya.” Abu Hatim berkata, “Hadits-haditsnya dari Abdullah bin Abi Aufa adalah batil (termasuk hadits ini–pent). Seandainya ada orang yang bersumpah bahwa seluruh haditsnya (Faid bin Abu Warqa’) palsu, tidaklah dia disebut seorang pengecut.” Imam Bukhari berkata, “Munkarul Hadits.” Al-Hakim berkata, “Dia meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu).” (Lihat Tahdzib Tahdzib 4/459-460 oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar).<br />
Komentar ulama tentang kisah ini:<br />
a. Ibnul Jauzi juga mencantumkan kisah ini dalam Al-Maudhu‘at (3/87) tanpa menyebut nama Al-Qamah, lalu berkomentar, “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n/.”<br />
b. Imam Adz-Dzahabi menyebutkan kisah ini secara ringkas dan berkata dalam Mizanul I’tidal (3/4), “Termasuk musibah Dawud bin Ibrahim adalah perkataannya: “Menceritakan kami Ja’far bin Sulaiman, menceritakan kami Faid dari Ibnu Abi Aufa.” kemudian beliau (Adz-Dzahabi) menyebutkan kisah ini lalu berkata, “Faid adalah seorang yang hancur.”<br />
c. Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan hal serupa dalam Lisanul Mizan (3/8).<br />
d. Al-Hafizh Al-Haitsami berkata dalam kitabnya Majma’uz Zawaid (8/271), “Hadits riwayat Ath-Thabrani dan Ahmad secara ringkas sekali, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Faid Abu Warqa’, dia seorang yang matruk.”<br />
Penelitian tentang Al-Qamah<br />
Nama Al-Qamah dalam kisah ini tidak jelas dan tersembunyi. Dan yakinnya hanya dibuat-buat oleh para pemalsu hadits. Sebab, sahabat Nabi yang bernama Al-Qamah sangat jauh dari kisah batil ini. Hal tersebut sangat jelas bagi mereka yang membaca sejarah sahabat yang bernama Al-Qamah seperti dalam kitab Al-Ishobah (4/262) no. 5654-5474 oleh Ibnu Hajar dan Usdul Ghabah (4/81) oleh Ibnu Atsir. Oleh karena itu, dalam kisah ini kita tidak mendapati secara jelas namanya. Baik ayah, kakek, nama qabilah, kunyahnya dan lain sebagainya.<br />
<br />
3. Kisah tahkim (pemutusan hukum) antara Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash<br />
Kisahnya sebagai berikut: “Tatkala keduanya (Abu Musa z/ dan Amr bin Ash z/) berkumpul di Daumatul Jandal, keduanya bersepakat untuk menurunkan Ali bin Abu Thalib z/ dan Muawiyah z/ dari kekhalifahan. Amr berkata kepada Abu Musa, “Silakan Anda berbicara dulu!” Abu Musa pun berdiri seraya berkata, “Aku telah pikirkan matang-matang ternyata sebaiknya aku turunkan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku turunkan pedangku ini dari pundakku.” (Lalu dia melepaskan pedangnya dari pundaknya). Tibalah giliran Amr bin Ash untuk berbicara. Dia pun berdiri seraya berkata, “Aku telah berpikir matang-matang ternyata sebaiknya aku mengangkat Muawiyah sebagai khalifah sebagaimana aku mengangkat pedangku ini dari tanah.” (Lalu dia mengambil pedangnya dan meletakkannya dia atas pundaknya). Mendengar hal tersebut Abu Musa pun tak tinggal diam, dia bergegas mengingkari dengan keras, namun jawab Amr bin Ash dengan mudah, “Demikianlah kesepakatan kita.”<br />
Kisah ini juga masyhur dalam sejarah, khususnya di buku-buku kurikulum anak-anak kita untuk menodai nama baik sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan z/ dan Amr bin Ash z/ serta menggambarkan mereka sebagai orang yang sangat licik, musuh bebuyutan Ali bin Abi Thalib z/, politikus yang menghalalkan darah kaum muslimin, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Semua ini dusta—demi Alloh—disebabkan:<br />
a. Kisah ini TIDAK SHAHIH, bahkan pemutarbalikan sejarah. Al-Qadhi Abu Bakar berkata dalam Al- Awashim minal Qawashim hal. 179, “Kisah ini seluruhnya dusta belaka, tidak pernah terjadi satu huruf pun. Ini hanyalah karangan ahli bid`ah yang diwarisi oleh orang-orang yang tidak mengerti.”<br />
b. Kisah yang shahih adalah bahwa keduanya berkumpul dan membuahkan sebuah kesimpulan yaitu: “Menyerahkan keputusan terbaik kepada kaum muslimin, dan keduanya saling menghormati.” (lihat kisahnya dalam Al-Bidayah wa Nihayah 7/284 oleh Ibnu Katsir)<br />
c. Kalaulah memang shahih, maka sikap yang benar menghadapi fitnah di antara sahabat Rasulullah z/ adalah menahan lidah kita dari mencela mereka dan mendo’akan ampun untuk mereka. Dalam hadits disebutkan:<br />
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوْا<br />
Apabila disebut sahabatku, maka tahanlah. (lihat Ash-Shahihah no. 34)<br />
Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir (1/437), “Sabda beliau n/: Apabila disebut sahabatku, yaitu apa yang terjadi di antara mereka, berupa perselisihan dan peperangan. Adapun sabdanya n/: Tahanlah, yakni janganlah mencela mereka atau menyebut mereka dengan kata-kata yang tidak pantas karena mereka adalah sebaik-baik umat.”<br />
<br />
4. Kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abu Nuwwas<br />
Dalam buku-buku sejarah dan kisah sering diceritakan bahwa khalifah Harun Rasyid sangat senang berhura-hura, minum khamr dan berjoget bersama para penari dan penyanyi. Seperti dalam kitab Alfu Lailatin Lailatan (1001 Malam).<br />
Semua ini tidak benar sama sekali!<br />
Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Ini merupakan kedustaan, tuduhan dalam sejarah Islam. Adapun kitab Alfu Lailatin Lailatan merupakan kitab yang tidak dapat dijadikan sandaran, tidak sepantasnya seorang muslim—lebih-lebih penuntut ilmu—menghabiskan waktu untuk membacanya. Khalifah Harun Rasyid, beliau dikenal sebagai khalifah yang baik, istiqamah, dan adil dalam mengurusi rakyatnya. Maka tuduhan semacam itu hendaknya tidak dilirik sedikitpun....” (Nur ‘Ala Darb (29), lihat pula Kutub Hadzdzara minha Al-Ulama 2/61-62 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman)<br />
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin juga berkata, “Ini merupakan kedustaan yang jelas dan kezhaliman yang nyata....” (Fatawa Islamiyah 4/187)<br />
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali berkata, “Kita harus membersihkan sejarah Islam dari hal-hal yang digoreskan oleh para pemalsu dan pendusta beserta cucu-cucu mereka dari kalangan orientalis. Mereka menggambarkan bahwa sejarah Islam merupakan panggung anak kecil, musik, dan nyanyian. Para khalifah kaum muslimin tenggelam dalam syahwat dan kelezatan dunia, kurang memperhatikan kepentingan kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan oleh para perusak tersebut dalam menodai sejarah khalifah Harun Rasyid dan yang lain.” (Al-Jama’at Islamiyah, 430. Lihat biografi Harun Ar-Rasyid dalam Siyar A’lam Nubala 9/286 oleh Adz-Dzahabi)<br />
Adapun tentang kisah-kisah dan dongeng Abu Nuwwas (yang terkenal di khalayak sebagai Abu Nawwas), maka Ibnu Manzhur, penulis kitab Lisanul ‘Arab, telah mengarang sebuah kitab berjudul Akhbar Abu Nuwwas. Dalam mukadimahnya, dengan hujjah yang terang dan kuat, dijelaskan bahwa kebanyakan dari dongeng-dongeng dan lelucon yang dinisbatkan kepada Abu Nuwwas adalah dusta belaka. (Lihat biografi Abu Nuwwas dalam Siyar A’lam Nubala 9/279-281 dan Wafayatul A’yan 2/95-104 oleh Ibnu Khalkan)<br />
<br />
Inilah beberapa contoh kisah-kisah yang tidak shahih. Dan kita hendaknya waspada terhadap adanya kisah-kisah batil semacam ini. Semoga bermanfaat.</span>Abu Hudzaifahhttp://www.blogger.com/profile/07675410085666249367noreply@blogger.com0