WASPADA TERHADAP KISAH-KISAH TAK NYATA

Sabtu, 26 September 2009
Oleh Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi


Membaca kisah, memang asyik dan menyenangkan... penuh dengan ibrah dan pelajaran, apalagi kisah para nabi dan orang-orang shalih, tentulah sarat dengan mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Tentang kisah para nabi, Alloh berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَاب
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111)
Adapun kisah orang-orang shalih, Imam Sufyan As Tsauri berkata: “Ketika membicarakan kisah mereka, turunlah rahmat ( Alloh )”.
Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:
كَرِّرْ عَلَيَّ حَدِيْثَهُمْ يَاحَادِيْ فَحَدِيْثُهُمْ يُجْلِىْ الْفُؤَادَ الصَّاوِيَ
Ceritakanlah kepadaku tentang kisah mereka wahai shahabatku...
Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku...

Pengetahuan tentang kisah memang asyik lagi menarik. Tetapi sayang, pengetahuan yang mulia ini ternodai oleh goresan tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memutarbalikkan fakta sejarah yang sebenarnya, lalu menebarkan kisah-kisah yang tidak shahih. Ironisnya, justru kisah-kisah itulah yang banyak beredar, laris manis, dan banyak dikomsumsi masyarakat.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, akan kami paparkan sebagian kisah-kisah yang tidak shahih sebagai peringatan untuk kita semua.

1. Kisah Tsa’labah bin Hatib z/
Ringkas ceritanya: “Tsa`labah z/ adalah seorang sahabat yang fakir tetapi rajin beribadah. Suatu saat ia memohon kepada Nabi n/ agar mendo’akannya supaya dikaruniai rizki. Nabi n/ pun mendo’akannya. Walhasil, dia bekerja sebagai penggembala kambing. Waktu demi waktu berlalu, akhirnya ternaknya berkembang dengan pesat sekali. Lambat laun hal itu melalaikannya dari shalat... dan seterusnya sampai akhir kisah.”
Kisah ini sangat masyhur, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsirnya (14/370), Ath-Thabrani dalam Mu‘jamul Kabir (8/260) no. 7873 dan Al-Wahidi dalam Asbabul Nuzul hal 252. Semuanya dari jalan Mu’an bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid Al-Alhani dari Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Bahili z/.”
Kisah ini MUNGKAR. Sebabnya adalah:
1. Mu’an bin Rifa’ah seorang rawi yang lemah. Ibnu Ma’in berkata, “Lemah.” Al-Juzajani berkata, “Tidak dapat dijadikan hujjah.” Ibnu Hibban berkata, “Munkarul hadits.” Adz-Dzahabi berkata, “Tidak kuat.” Ibnu Hajar berkata, “Haditsnya lemah dan dia sering memursalkan hadits.” (lihat Mizanul I’tidal (6/455) oleh Adz-Dzahabi; Tahdzib Tahdzib (5/455), Taqrib Tahdzib oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani)
2. Ali bin Yazid Al-Alhani seorang rawi yang lemah juga. Imam Bukhari berkata, “Munkar hadits.” Nasai berkata, “Tidak dipercaya.” Abu Zur’ah berkata, “Tidak kuat.” Daruquthni berkata, “Matruk (ditinggalkan).” Ibnu Hajar menyimpulkan, “Dha’if (lemah).” (Lihat Mizanul I’tidal (5/196) dan Taqrib Tahdzib hal. 953)
Komentar ulama tentang kisah ini:
a. Ibnu Hazm (wafat: 456H) berkata dalam Al-Muhalla (12/137), “Tidak ragu lagi bahwa kisah ini adalah batil. Tsa’labah z/ termasuk sahabat pengikut perang Badar yang masyhur.”
b. Al-Baihaqi (wafat: 458 H) berkata, “Sanad hadits ini perlu dikaji ulang lagi, sekalipun masyhur di kalangan ahli tafsir.” (Lihat Faidhul Qadir (4/ 667) oleh Al-Munawi)
c. Al-Qurthubi (wafat: 671 H) berkata dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (8/133), “Tsa‘labah z/ termasuk sahabat yang mengikuti perang Badar, termasuk golongan Anshar dan orang-orang yang mendapatkan pujian dari Alloh dan RasulNya n/. Adapun hadits ini tidak shahih.”
d. Adz-Dzahabi (wafat: 748 H) berkata dalam Tajrid Asma Shahabah (1/66), “Mungkar sekali.”
e. Al-Iraqi (wafat: 806 H) berkata dalam Takhrij Ihya’ (3/338), “Sanadnya lemah.”
f. Al-Haitsami (wafat: 807 H) berkata dalam Majma’uz Zawaid (7/108), “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani tetapi dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ali bin Yazid Al-Alhani, dia matruk (ditinggalkan haditsnya).”
g. Ibnu Hajar (wafat: 852 H) berkata dalam Fathul Bari (3/266), “Hadits ini lemah, tidak dapat dijadikan hujjah.”
h. As-Suyuthi (wafat: 911 H) berkata dalam Lubab Nuqul ‘an Asbab Nuzul (121), “Diriwayatkan oleh Thabrani, Ibnu Mardawih, Ibnu Abi Hatim, dan Baihaqi dalam Dala’il dengan sanad yang lemah.”
i. Al-Albani berkata dalam Silsilah Dha’ifah (1607), “Hadits ini mungkar, sekalipun sangat masyhur. Kecacatannya terletak pada Ali bin Yazid Al-Alhani, dia seorang yang matruk. Dan Mu’an juga seorang yang lemah.”
Ada satu hal lagi yang memperkuat mungkarnya kisah ini, bahwasanya shahibul kisah, Tsa’labah bin Hatib, termasuk pengikut perang Badar sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Mandah, Abu Nu’aim, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Atsir dalam Usdul Ghabah 1/237.
Kalau sudah terbukti bahwa Tsa’labah termasuk pengikut perang Badar, apakah seperti ini sifat seorang sahabat yang mengikuti perang Badar? Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Ishabah 1/198, telah shahih bahwa Nabi n/ bersabda:
لاَيَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَّةَ
Tidak masuk neraka orang yang mengikuti perang Badar dan Hudaibiyah.
Dan beliau juga menceritakan bahwa Rabbnya berfirman:
اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Berbuatlah sekehendak kalian. Sungguh Aku telah mengampuni kalian.
Apakah seorang yang dijamin dengan pahala seperti ini lalu menjadi munafik? Dan turun kepadanya ayat tersebut?

2. Kisah Al-Qamah Bersama Ibunya
Ringkas ceritanya kurang lebih sebagai berikut: “Al-Qamah adalah seorang ahli ibadah. Tatkala dia dalam sakaratul maut, lidahnya tidak dapat mengucapkan kalimat La Ilaha illalloh. Rasul n/ pun mendatanginya seraya bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah ibunya masih hidup?” Jawab mereka, “Masih.” Sang ibu pun dihadirkan, lantas menjelaskan bahwa dirinya telah mengutuk si anak (Al-Qamah) disebabkan dia lebih mengutamakan istrinya daripada dirinya. Nabi n/ meminta kepada sang ibu untuk mencabut kutukannya. Namun dia tidak bersedia, lantaran sudah kadung (terlanjur–red) sakit hati. Akhirnya Nabi n/ pun menyuruh para sahabatnya agar mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Al-Qamah, supaya lekas mati. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, dia tak tega putranya mengalami nasib seperti itu, lalu mencabut kutukannya. Sedetik kemudian Al-Qamah mampu mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Lalu wafatlah dia.”
Kisah ini sangat masyhur dan laris, dipasarkan oleh para khatib di mimbar-mimbar, dan masyhur disampaikan di sekolah-sekolah terutama dalam buku-buku kurikulum atau dalam acara bid’ah yang biasa disebut sebagai Hari Ibu setiap tanggal 21 Maret (di Mesir).
Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (3/87). Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir (3/461), Al-Khara’iti dalam Masawi’ Al-Ahlaq, Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana disebutkan Imam Suyuthi dalam Al-‘Ali Al-Mashnu’ah (2/296).
Kisah ini BATIL. Sebab, kisah ini diriwayatkan dari jalan Faid Abu Warqa’ dari Abdullah bin Abi Aufa. Berikut, sekilas komentar ulama tentangnya:
Imam Ahmad berkata, “Matruk.” Ibnu Ma’in berkata, “Lemah dan tidak dipercaya.” Abu Hatim berkata, “Hadits-haditsnya dari Abdullah bin Abi Aufa adalah batil (termasuk hadits ini–pent). Seandainya ada orang yang bersumpah bahwa seluruh haditsnya (Faid bin Abu Warqa’) palsu, tidaklah dia disebut seorang pengecut.” Imam Bukhari berkata, “Munkarul Hadits.” Al-Hakim berkata, “Dia meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu).” (Lihat Tahdzib Tahdzib 4/459-460 oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar).
Komentar ulama tentang kisah ini:
a. Ibnul Jauzi juga mencantumkan kisah ini dalam Al-Maudhu‘at (3/87) tanpa menyebut nama Al-Qamah, lalu berkomentar, “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n/.”
b. Imam Adz-Dzahabi menyebutkan kisah ini secara ringkas dan berkata dalam Mizanul I’tidal (3/4), “Termasuk musibah Dawud bin Ibrahim adalah perkataannya: “Menceritakan kami Ja’far bin Sulaiman, menceritakan kami Faid dari Ibnu Abi Aufa.” kemudian beliau (Adz-Dzahabi) menyebutkan kisah ini lalu berkata, “Faid adalah seorang yang hancur.”
c. Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan hal serupa dalam Lisanul Mizan (3/8).
d. Al-Hafizh Al-Haitsami berkata dalam kitabnya Majma’uz Zawaid (8/271), “Hadits riwayat Ath-Thabrani dan Ahmad secara ringkas sekali, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Faid Abu Warqa’, dia seorang yang matruk.”
Penelitian tentang Al-Qamah
Nama Al-Qamah dalam kisah ini tidak jelas dan tersembunyi. Dan yakinnya hanya dibuat-buat oleh para pemalsu hadits. Sebab, sahabat Nabi yang bernama Al-Qamah sangat jauh dari kisah batil ini. Hal tersebut sangat jelas bagi mereka yang membaca sejarah sahabat yang bernama Al-Qamah seperti dalam kitab Al-Ishobah (4/262) no. 5654-5474 oleh Ibnu Hajar dan Usdul Ghabah (4/81) oleh Ibnu Atsir. Oleh karena itu, dalam kisah ini kita tidak mendapati secara jelas namanya. Baik ayah, kakek, nama qabilah, kunyahnya dan lain sebagainya.

3. Kisah tahkim (pemutusan hukum) antara Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash
Kisahnya sebagai berikut: “Tatkala keduanya (Abu Musa z/ dan Amr bin Ash z/) berkumpul di Daumatul Jandal, keduanya bersepakat untuk menurunkan Ali bin Abu Thalib z/ dan Muawiyah z/ dari kekhalifahan. Amr berkata kepada Abu Musa, “Silakan Anda berbicara dulu!” Abu Musa pun berdiri seraya berkata, “Aku telah pikirkan matang-matang ternyata sebaiknya aku turunkan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku turunkan pedangku ini dari pundakku.” (Lalu dia melepaskan pedangnya dari pundaknya). Tibalah giliran Amr bin Ash untuk berbicara. Dia pun berdiri seraya berkata, “Aku telah berpikir matang-matang ternyata sebaiknya aku mengangkat Muawiyah sebagai khalifah sebagaimana aku mengangkat pedangku ini dari tanah.” (Lalu dia mengambil pedangnya dan meletakkannya dia atas pundaknya). Mendengar hal tersebut Abu Musa pun tak tinggal diam, dia bergegas mengingkari dengan keras, namun jawab Amr bin Ash dengan mudah, “Demikianlah kesepakatan kita.”
Kisah ini juga masyhur dalam sejarah, khususnya di buku-buku kurikulum anak-anak kita untuk menodai nama baik sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan z/ dan Amr bin Ash z/ serta menggambarkan mereka sebagai orang yang sangat licik, musuh bebuyutan Ali bin Abi Thalib z/, politikus yang menghalalkan darah kaum muslimin, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Semua ini dusta—demi Alloh—disebabkan:
a. Kisah ini TIDAK SHAHIH, bahkan pemutarbalikan sejarah. Al-Qadhi Abu Bakar berkata dalam Al- Awashim minal Qawashim hal. 179, “Kisah ini seluruhnya dusta belaka, tidak pernah terjadi satu huruf pun. Ini hanyalah karangan ahli bid`ah yang diwarisi oleh orang-orang yang tidak mengerti.”
b. Kisah yang shahih adalah bahwa keduanya berkumpul dan membuahkan sebuah kesimpulan yaitu: “Menyerahkan keputusan terbaik kepada kaum muslimin, dan keduanya saling menghormati.” (lihat kisahnya dalam Al-Bidayah wa Nihayah 7/284 oleh Ibnu Katsir)
c. Kalaulah memang shahih, maka sikap yang benar menghadapi fitnah di antara sahabat Rasulullah z/ adalah menahan lidah kita dari mencela mereka dan mendo’akan ampun untuk mereka. Dalam hadits disebutkan:
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوْا
Apabila disebut sahabatku, maka tahanlah. (lihat Ash-Shahihah no. 34)
Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir (1/437), “Sabda beliau n/: Apabila disebut sahabatku, yaitu apa yang terjadi di antara mereka, berupa perselisihan dan peperangan. Adapun sabdanya n/: Tahanlah, yakni janganlah mencela mereka atau menyebut mereka dengan kata-kata yang tidak pantas karena mereka adalah sebaik-baik umat.”

4. Kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abu Nuwwas
Dalam buku-buku sejarah dan kisah sering diceritakan bahwa khalifah Harun Rasyid sangat senang berhura-hura, minum khamr dan berjoget bersama para penari dan penyanyi. Seperti dalam kitab Alfu Lailatin Lailatan (1001 Malam).
Semua ini tidak benar sama sekali!
Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Ini merupakan kedustaan, tuduhan dalam sejarah Islam. Adapun kitab Alfu Lailatin Lailatan merupakan kitab yang tidak dapat dijadikan sandaran, tidak sepantasnya seorang muslim—lebih-lebih penuntut ilmu—menghabiskan waktu untuk membacanya. Khalifah Harun Rasyid, beliau dikenal sebagai khalifah yang baik, istiqamah, dan adil dalam mengurusi rakyatnya. Maka tuduhan semacam itu hendaknya tidak dilirik sedikitpun....” (Nur ‘Ala Darb (29), lihat pula Kutub Hadzdzara minha Al-Ulama 2/61-62 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin juga berkata, “Ini merupakan kedustaan yang jelas dan kezhaliman yang nyata....” (Fatawa Islamiyah 4/187)
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali berkata, “Kita harus membersihkan sejarah Islam dari hal-hal yang digoreskan oleh para pemalsu dan pendusta beserta cucu-cucu mereka dari kalangan orientalis. Mereka menggambarkan bahwa sejarah Islam merupakan panggung anak kecil, musik, dan nyanyian. Para khalifah kaum muslimin tenggelam dalam syahwat dan kelezatan dunia, kurang memperhatikan kepentingan kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan oleh para perusak tersebut dalam menodai sejarah khalifah Harun Rasyid dan yang lain.” (Al-Jama’at Islamiyah, 430. Lihat biografi Harun Ar-Rasyid dalam Siyar A’lam Nubala 9/286 oleh Adz-Dzahabi)
Adapun tentang kisah-kisah dan dongeng Abu Nuwwas (yang terkenal di khalayak sebagai Abu Nawwas), maka Ibnu Manzhur, penulis kitab Lisanul ‘Arab, telah mengarang sebuah kitab berjudul Akhbar Abu Nuwwas. Dalam mukadimahnya, dengan hujjah yang terang dan kuat, dijelaskan bahwa kebanyakan dari dongeng-dongeng dan lelucon yang dinisbatkan kepada Abu Nuwwas adalah dusta belaka. (Lihat biografi Abu Nuwwas dalam Siyar A’lam Nubala 9/279-281 dan Wafayatul A’yan 2/95-104 oleh Ibnu Khalkan)

Inilah beberapa contoh kisah-kisah yang tidak shahih. Dan kita hendaknya waspada terhadap adanya kisah-kisah batil semacam ini. Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Kasih Komentarnya:

Ikuti kajian rutin MANHAJUS SALIKIN setiap Jum'at bersama al-Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa Download pengajian Jum'at ini dengan judul "Sholat Jum'at (1)"