10 FAEDAH TENTANG HAJI

Selasa, 03 November 2009
Ust Abu Ubaidah


1- HAJI AKBAR

Pendapat yang populer dalam madzhab Syafi’I bahwa hari haji akbar adalah hari Arafah (9 Dzulhijjah). Namun pendapat yang benar bahwa hari haji akbar adalah pada hari nahr (menyembelih kurban, 10 Dzulhijjah), berdasarkan firman Allah:
وَأَذَانٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأَكْبَرِ
Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan rasulNya kepada umat manusia pada hari haji akbar. (QS. At-Taubah: 3)
Dalam Shahih Bukhari 8/240 dan Shahih Muslim 1347 disebutkan bahwa Abu Bakar dan Ali mengumumkan hal itu pada hari nahr, bukan pada hari Arafah.
Dan dalam Sunan Abu Dawud 1945 dengan sanad yang sangat shahih, Rasulullah bersabda:
يَوْمُ الَحَجِّ الأَكْبَرِ يَوْمُ النَّحْرِ
Hari haji akbar adalah hari nahr (menyembelih kurban).
Demikian juga dikatakan oleh Abu Hurairah dan sejumlah para sahabat. (Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 1/55-56).

2- HAJI MABRUR

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Umrah ke umrah berikutnya pelebur dosa antara keduanya. Dan tidak ada balasan untuk haji mabrur kecuali surga”. (HR. Bukhari 1683 Muslim 1349)
Haji mabur memiliki beberapa kriteria:
Pertama: Ikhlas, seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggan, atau agar dipanggil oleh masyarakatnya “pak haji” atau “bu haji”.

Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. (QS. Al-Bayyinah: 5)
Kedua: Ittiba’ kepada Nabi, dia berhaji sesuai tata cara haji yang diperaktekkan oleh Nabi dan menjauhi perkara-perkara bid’ah haji. Beliau sendiri bersabda:
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
Contolah cara manasik hajiku. (Muslim 1297)
Ketiga: Harta untuk berangkat hajinya adalah harta yang halal. Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ, لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik. (Muslim 1015)
Keempat: Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan.

Barangsiapa yang menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (kata-kata tak senonoh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan pada masa haji. (QS. Al-Baqarah: 197)
Kelima: Berakhlak baik antar sesama, tawadhu dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.
Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 22/39: “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal”. (Lathaif Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masail Yaktsuru Sual Anha Abdullah bin Shalih al-Fauzan 12-13)

3- ASAL HAJAR ASWAD


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ, أَشَدَّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ, فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِيْ آدَمَ
Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah bersabda: “Hajar aswad turun dari surga, dia lebih putih daripada susu, lalu dosa-dosa anak Adam membuatnya hitam”. (Shahih. HR. Tirmidzi 877, Ibnu Khuzaimah 1/271, ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 3/155, Ahmad 1/307, 329, 373. Lihat Silsilah ash-Shahihah al-Albani 2618)
Kita beriman dengan tekstual hadits ini dan pasrah sepenuhnya, sekalipun orang-orang ahli filsafat mengingkarinya. (Lihat Ta’wil Mukhtalif Hadits Ibnu Qutaibah hal. 542).
Sulaiman bin Khalil (imam dan khathib masjid haram dahulu) menceritakan bahwa dirinya melihat tiga bintik berwarna putih jernih pada hajar aswad, lalu katanya: “Saya perhatikan bintik-bintik tadi, ternyata setiap hari berkurang warnanya”. (al-Aqdu Tsamin al-Fasi al-Makki 1/68, Asrar wa Fadhail Hajar Aswad Majdi Futhi Sayyid hal. 22).
Sungguh dalam hal itu terdapat pelajaran berharga bagi seorang yang berakal, sebab kalau demikian bekas dosa pada batu yang keras, maka bagaimana kiranya pada hati manusia?! (Fathul Bari Ibnu Hajar 3/463)

4- JEDDAH TERMASUK MIQAT??

Sebagian kalangan ada yang mencuatkan pendapat bahwa kota Jeddah boleh dijadikan sebagai salah satu miqat untuk para jama’ah haji yang datang lewat pesawat udara atau kapal laut. Namun pendapat ini disanggah secara keras oleh Haiah Kibar Ulama dalam keputusan rapat mereka no. 5730, tanggal 21/10/1399 H sebagai berikut:
Pertama: Fatwa tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para jamaah haji yang datang lewat pesawat udara dan kapal laut merupakan fatwa yang bathil, karena tiada bersandar pada Kitabullah dan sunnah rasulNya serta ijma’ salaf shalih. Tidak ada satupun ulama kaum muslimin sebelumnya yang mendahului pendapat ini.
Kedua: Tidak boleh bagi jama’ah haji yang melewati miqat, baik lewat udara maupun laut (Miqat Indonosia adalah Yalamlam -pent-) untuk melampuinya tanpa ihram sebagaimana ditegaskan dalam dalil-dalil yang banyak dan ditandaskan para ulama”. (Fiqih Nawazil al-Jizani 2/317, Taisir Alam al-Bassam 1/572-573)

5- DZIKIR KETIKA THAWAF

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Disunnahkan ketika thawaf untuk berdzikir dan berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan. Kalau mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak ada doa tertentu dari Nabi, baik dari perintahnya, ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan beliau berdoa dengan umumnya doa-doa yang disyariatkan. Adapun apa yang disebutkan kebanyakan manusia adanya doa khusus di bawah mizab dan selainnya maka semua itu tidak ada asalnya”. (Majmu Fatawa 26/122)

6- PROBLEM ORANG BOTAK

Telah dimaklumi bersama bahwa dalam haji ada syariat cukur/memendekkan rambut. Namun bagaimana dengan seorang yang botak dan tidak memiliki rambut untuk dicukur?! Sebagian para fuqaha’ mengatakan: hendaknya dia tetap melewatkan alat cukur di kepalanya. Namun pendapat yang benar bahwa hal ini dibenci, syari’at bersih darinya, sia-sia dan tiada faedahnya, sebab melewatkan alat cukur hanyalah sekedar sebagai wasilah (perantara) saja bukan tujuan utama. Kalau tujuan utamanya gugur, maka wasilah tidak bermakna lagi. Persis dengan masalah ini adalah seorang yang lahir sedangkan dzakarnya sudah dikhitan, apakah perlu dikhitan lagi?! Atau melawatkan pisau padanya?! Pendapat yang benar adalah tidak perlu. (Lihat Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud Ibnu Qayyim, hal. 330).

7- AIR ZAM-ZAM

Al-Humaidi berkata: Saya pernah berada di sisi Sufyan bin ‘Uyainah, lalu beliau menceritakan kepada kami hadits:
مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
Air zam-zam tergantung keinginan seorang yang meminumnya.
Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi seraya mengatakan: Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau ceritakan kepada kami tadi tentang zam-zam adalah hadits yang shahih? Jawab beliau: Benar. Lelaki itu lalu berkata: Baru saja aku meminum seember air zam-zam dengan harapan engkau akan menceritakan kepadaku seratus hadits. Akhirnya, Sufyan berkata padanya: Duduklah. Lelaki itupun duduk, dan Sufyan menceritakan seratus hadits padanya. (Al-Mujalasah Abu Bakar ad-Dinawari 2/343, Juz Ma’a Zam-Zam Ibnu Hajar hal. 271).
Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya dalam menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati penanya tersebut, alangkah semangatnya dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut untuk mendapatkannya! (Fadhlu Ma’a Zam-Zam Sayyid Bakdasy hal. 137)

8- NAMA MIQAT MADINAH

Miqat penduduk Madinah atau jama’ah haji yang lewat Madinah adalah Dzul Hulaifah sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Adapun penamaannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di masyarakat maka hendaknya diganti. Sebab bagaimanapun lafadz yang tertera dalam hadits itu lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bir Ali (Sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berduel dengan Jin di sumur tersebut, sehingga karena itulah disebut Bir Ali.
Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan akan bathilnya cerita tersebut, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj Sunnah 8/161, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah 2/344, Ibnu Hajar dalam al-Ishabah 1/498, Mula Ali al-Qori dalam al-Maslak al-Mutaqassith hal. 79, dan lain sebagainya. (Qashashun Laa Tatsbutu Masyhur Hasan Salman 7/95-119)

9- TITIP SALAM UNTUK NABI

Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru dalam agama. Al-Hamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita, Dia menjadikan salam kita untuk Nabi sampai kepada beliau dimanapun kita berada, baik di ujung timur maupun barat. Nabi bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا, وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا, وَصَلُّوْا عَلَيَّ, فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ أَيْنَ كُنْتُمْ
Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku dimanaun kalian berada.
Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali. (al-Mustadrak ala Mu’jam Manahi Lafdziyyah Sulaiman al-Khurasi hal. 231-232)

10- GANTI NAMA USAI HAJI

Soal: Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji seerti yang banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, dimana mereka mengganti nama di Mekkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah ataukah tidak?
Jawab: Nabi biasa mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila para jama’ah haji Indonesia tersebut mengganti nama mereka karena sebab tersebut, bukan karena sebab usai melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid Nabawi, maka hukumnya boleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia mengganti nama mereka karena alasan pernah di Mekkah/Madinah atau usai melakukan ibadah haji, maka hal itu termasuk perkara bid’ah, bukan sunnah. (Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515).

2 komentar:

Daftar Haji ONH Plus mengatakan...

artikel yang bermanfaat, smoga kita diberikan rizki untuk melaksanakan Haji dan menjadi Haji yang Mabrur...aminn

Zaen Haji Umrah mengatakan...

sangat bermanfaat, Jazakallah

Posting Komentar

Silahkan Kasih Komentarnya:

Ikuti kajian rutin MANHAJUS SALIKIN setiap Jum'at bersama al-Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa Download pengajian Jum'at ini dengan judul "Sholat Jum'at (1)"